Thursday, December 26, 2013

The Greatest Gift of All

The picture says it all: if you have a banana leaf to share with your friend on a cold rainy day, you have it all. I wish life could always be that simple.

I just had my first Christmas in the US. It was an authentic Christmas with a tall christmas tree laden with ornaments and small family photos and candy canes and piles of gifts for everyone. We had holiday ham and cristmas crackers and smores and so many candies and sweets that I could possibly imagine. We were laughing and telling jokes and had a jolly good fun until it's time to go home. I was buzzed with wine and from the warmth of my husband's family, and I thought to myself there simply is no better day than Christmas day.

Yet as we loaded our gifts and presents to our car a struck of awereness sobered me up. We had arrived with a trunkfull of gifts for our family, no less than a dozen of them. That night we drove home with a huge basket filled with kitchen utensils and a plastic crate filled with art materials for our 5 year olds, and boxes and boxes of toys and children clothes and other little knick knacks and sweets from our stocking stuffer. It filled our trunk and one of the passenger side in our car. That was a lot of gifts. 

I wonder what is it like, as a child, to have so many awesome gifts. My 'massive gift' experience was limited to the rare birthday parties I had as a child, not more than 3-4 times in my whole entire life, which consists of a number of crayons/colored pencil/notebooks/cheap plastic toys. It goes the same with my younger brothers and my 5 year old nephew. The gifts were average (to say the least), but we still periodically do that for the sake of giving the little ones a chance to be a star for a day. The better gifts though, they're unforgettable. The Batman figurine and hand-held racing game that my Dad brought us from Japan in the late 90s was still intact and playable this recent days. And the battered plastic airplane which lost a half of its left wing was sufficient for my little nephew to play pilots (with plastic ruler as the inclined ramp). We remember fondly who gave our toys and even in what circumstance, and with that we developed appreciation towards the giver, regardless how trivial the toys are. It is, you can say, the law of the few. You'd appreciate more if you don't have much.

But what if you always have great gifts, and in large numbers too? Will it desensitize you? I looked at our child's craft materials with deep concern. Will she remember fondly about her grandparents when she uses them? Or when she played with her little pony toy? How sad if she didn't. Because gifts were not supposed to be about getting impressive things, but it's about knowing you are impressive enough for someone to gifting you and thus showing you affection. Yet how, as a child, can she know all this? With mountain of awesome gifts for her to choose from, how can she even remember who gave what? And can she really love every single one of her gifts when she knew perfectly well next birthday or another Christmas she'll have another mountain of gifts? And the toys, what would you feel if you were them and knowing you can be thrown away and/or forgotten in a matter of days? It was supposed to be a day of giving and loving and grateful appreciation, but is it really so?

I remember days I spent with my little stuffed tiger. I had him since elementary school and he's still with me to my late twenties, even though he's lost an eye and has multiple stitches and a couple of cigarette burn (don't ask). Yet to me he worth more than fanciest, fluffiest, softest stuffed animal you could ever found these days. And I am grateful for that feeling. A man who was lost in the desert would appreciate a glass of cold water far better than a rich man in his penthouse. It is an experience that money couldn't buy. I looked at our sleeping child and wonder can I provide the same wisdom for her, or was she beyond salvation. Time will tell. But for me, as I unpacked my gifts from the big wooden basket I remember the picture of the two boys with the banana leaf and I smiled. At times, the only thing you need in a rainy day is someone to share it with, and to know someone care about you enough to shelter you from it. And that, my friend, is the greatest gift of all. Merry Christmas dear friends.




Sent from Samsung Talenan

Thursday, December 19, 2013

Manifesto Brahmana Bali



Om Swastyastu,

Saya Ida Ayu. Dari semenjak lahir dan selama kurang-lebih 16 tahun saya hidup 'Ida Ayu' itu cuma sekedar nama buat saya, nama yang disingkat 'Dayu'. Nama yang mengundang kekonyolan karena kakak dan adik saya juga bernama Dayu, dan pada satu periode dalam hidup saya tiap kali kami menerima telepon yang mencari Dayu kami harus bertanya: "Dayu yang mana? Yang SMA, SMP, atau SD?". Atau saat ospek seorang teman saya, yang kebetulan bernama Bayu, menjawab dengan semangat: "Siap kak! Saya sudah makan!". Senior saya menjawab dengan judes: "Saya bertanya pada Dayu, bukan Bayu! Pakai kupingmu!". Ini di Jakarta, bukan di Bali. Disana Dayu bukanlah sebuah gelar berarti. Itu cuma sebuah nama.

Saya pertama kali sadar 'Dayu' lebih dari sekedar nama saat saya kelas 2 SMA. Guru sosiologi kami mengajarkan tentang suku-suku di Indonesia, dan saat menjelaskan tentang suku Bali beliau berkomentar (dengan guyon): "Namun baru pertama kalinya saya melihat Dayu yang urakan seperti disini. Biasanya Dayu yang saya tahu lemah lembut dan kalem.". Saya memang urakan: bolos sekolah untuk menonton slank, pakai sandal gunung plus kaus kaki hitam ke sekolah, atau paduan tas hijau neon dengan kaus kaki merah dan sepatu kuning-hijau. Sebaliknya, teman saya yang juga Hindu Bali namun bukan Brahmana benar-benar masuk stereotip itu: dia pintar, bertutur kata halus, kesayangan guru. Saat itu saya berpikir, apa rasanya menjadi dia. Pelajaran sosiologi itu diajarkan ke seluruh murid kelas 2 SMA kami, berarti semua angkatan kami tahu bahwa di Bali (ceritanya) saya lebih tinggi derajatnya dari teman saya ini. Cuma karena saya kebetulan lahir sebagai Dayu. Dia memiliki lebih banyak karakteristik sebagai 'Dayu' yang ideal daripada saya, namun saya yang mendapat segala penghormatan. Disitu saya sadar, dibalik nama 'Dayu' ada tanggung jawab yang besar.

Saat saya duduk di bangku kuliah dan aktif di Kerohanian Hindu kampus saya dibekali berbagai wejangan dari ibu saya, mengingat ini pertamakalinya saya berinteraksi dengan banyak penganut Hindu Bali. Walau saya berusaha, namun pada akhirnya hampir semua saya langgar. 
- "Jangan berbagi makanan/minuman dengan orang lain", saya pikir kenapa tidak? Di SMA saya biasa berbagi minuman satu sedotan dengan teman-teman, kenapa tidak boleh dengan teman Hindu Bali? 
- "Jangan duduk sembarangan." Lagi lagi kenapa tidak? Saya biasa jongkok dimana-mana saat nongkrong dengan teman SMA, apa bedanya dengan sekarang? 
- "Harus cari pasangan Ida Bagus." Setelah capek berburu Ida Bagus dan melihat sendiri para Ida Bagus yang saya tahu bisa bebas memilih pasangan walau bukan Ida Ayu (dan beberapa yang punya dobel: Ida Ayu dan non-Ida Ayu) saya memutuskan ini tidak adil. 
Saat kuliah juga saya merasakan keganasan beberapa orang terhadap gelar saya. Saat orientasi pertama saya di kerohanian Hindu seorang senior naik keatas meja dan berkata: "Jangan berani pakai gelar disini. Disini ga berlaku gelar kalian. Jangan belagu!!". Saya cuma bisa melihat dengan aneh dan berpikir, "Siapa pula mau pamer gelar disini? Bukan pilihan gue lahir jadi Dayu.". Disitu saya sadar: jadi 'Dayu' itu banyak aturannya dan punya potensi di benci orang (walau lagi-lagi bukan pilihan saya lahir jadi 'Dayu').

Tak lama setelah saya pindah ke Bali saya memutuskan menghilangkan nama saya. Saya bukan lagi 'Dayu Ary', tapi hanya 'Ary'. Saya sudah pernah mencoba ini di Jakarta saat saya berpasangan dengan pria non-Ida Bagus, saya pikir saya harus melepas gelar saya karena saya menikah di luar kasta. Saat itu seorang cenayang bisa menebak bahwa saya 'Dayu', dan menasehati saya agar tidak membuang siapa saya. Namun di Bali lagi-lagi saya merasa muak dengan ke'Dayu'an saya. Saya tidak bisa bicara bahasa Bali (saya punya alasan pribadi), tidak bisa membuat banten, dan sangat kikuk saat harus menaruh banten atau mebakti. Karena itu saya dicap 'Dayu karbitan'. Saya mencoba pedekate dengan Ida Bagus di Facebook, dan biasanya saya ditolak mentah-mentah karena mereka memiliki lebih banyak pilihan. Semua orang mau punya suami Ida Bagus, namun tidak semua Ida Bagus peduli istrinya Dayu atau bukan. Beberapa yang tertarik hanya sebatas berusaha mengajak saya tidur, dan hampir semua sudah memilki istri/pasangan. Saya melihat beberapa Brahmana yang saya kenal memperlakukan braya/pengikutnya seperti pembantu, tanpa respek sedikitpun dan justru merasa mereka harus dilayani; dan sebaliknya, saya melihat banyak orang menjadi sangar begitu tahu saya Brahmana karena merasa saya akan semena-mena terhadap mereka. Saya capek ditolak, saya capek ditipu, saya capek berusaha menjalankan aturan yang berlaku sementara para orang-orang ini semena-mena melanggarnya. Buat apa saya mempertahankan nama saya? Apa artinya nama saya bila aturan hanya dijalankan sepihak, bila saya di-judge hanya dari luarnya saja? Bukankan Brahmana sepatutnya lebih bijak dan lebih santun?

Namun saat ini saya masih seorang Dayu. Ibu saya, yang bukan Dayu, mengajarkan saya apa artinya menjadi 'Dayu', menjadi keluarga Brahmana, menjadi penghuni Grya. Beliau membuat dan menghaturkan banten tanpa mengeluh, dan secara aktif belajar memperdalam pengetahuannya mengenai Banten dengan alasan: kita keluarga Brahmana, kita harus tahu. Ayah saya seringkali dipanggil untuk 'muput' atau melaksanakan upacara, dan ibu saya akan siap sedia disamping beliau walau upacaranya kadang berlangsung tengah malam atau pagi buta. Beliau hangat dan menghargai para Bibi/braya yang datang membantu kami saat menjelang upacara besar, dan beliau selalu mengingatkan saya: tanpa mereka kita tidak ada artinya. Dan akhirnya saya menemukan kunci keberadaan saya: sebagai Brahmana saya ada di muka bumi ini bukan untuk diri saya. Saya disini untuk umat. Saya disini untuk Tuhan. Tapi apa yang bisa saya lakukan bila saya bahkan tidak bisa menjait/membuat canang dengan baik dan benar? Apa yang bisa saya lakukan bila saya tidak lolos kualifikasi sebagai 'Dayu' ideal, bila saya masih suka jalan malam dan menikmati segelas alkohol dan sebatang rokok bersama teman? Jawabannya: Banyak. Yang pertama dan paling utama: saya bisa mulai dengan membetulkan diri saya sendiri, menghilangkan (atau setidaknya menekan) sifat-sifat buruk dan berusaha meperbanyak sifat baik seperti toleransi dan pengertian. Saya bisa melakukan berbagai kebaikan, menolong orang dan membuat orang lain nyaman dan bahagia; dan ini berlaku untuk semua orang yang kebetulan saya temui dan bukan hanya penganut Hindu Bali. Saya bisa melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan seorang Brahmana, seperti Pengobatan, Agama, Sastra dan memodifikasinya supaya sesuai dengan apa yang saya bisa. Sebelumnya saya mengambil jalan Pengobatan dengan kuliah kedokteran, namun akhirnya saya memilih jalan Sastra dan menulis blog ini. Blog ini saya tulis untuk memotivasi para pembaca saya, dan membuat hidup mereka lebih baik. Blog ini saya tulis untuk mengingatkan pembaca saya agar lebih toleran dan mau melangkah maju. Bukankah ini juga sastra? Bukankah ini juga melayani umat?

Lahir dengan nama 'Dayu' bukanlah sebuah pilihan, namun menjadi 'Dayu' adalah sebuah pilihan. Akan ada banyak yang berkomentar bahwa saya bukanlah contoh yang baik, bahwa saya tidak pantas menjadi seorang Dayu, sebagaimana saya melihat orang-orang Brahmana yang menyindir dan nyinyir terhadap seorang famili saya yang berpasangan dengan bule. Saya cuma bisa menjawab dengan salam jari tengah, sebagaimana saya menjawab aturan sepihak yang memberatkan 'Dayu' sebagai wanita. Hanya Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang berhak dan bisa menilai apakah saya sudah menjalankan yang Beliau harapkan dari saya sebagai Dayu, dan bukan manusia lain. Sampai saat pengadilan terakhir itu tiba, yang saya bisa lakukan hanya berusaha sebaiknya melayani umat dengan cara saya sendiri. Ini tugas saya sebagai seorang Brahmana yang saya bawa sejak lahir hingga meninggal nanti. Bahkan kaum Brahmana yang masih muda sekalipun memiliki tugas berat ini, dan disitulah letak penghormatan yang sebenarnya. Kita tidak bisa berkata "Oh nanti akan saya lakukan bila sudah tiba saatnya", karena 'saatnya' adalah saat ini, bukan nanti nanti setelah anda bosan dengan hidup. Menjadi Brahmana bukanlah harga mati, anda masih bisa menikmati hidup selama masih berpegang pada Dharma dan anda berhak melayani umat sebisa anda dan dengan cara anda sendiri. Ingat: Umat bukan ada disini untuk kita, namun kita ada disini untuk Umat. Ini tugas kita, ini tanggung jawab kita. 

Om Santi Santi Santi Om

Friday, December 6, 2013

Unicorns and Glass Slippers and The Missing Rib

What if the Genesis is true
That God took a rib from Man and made Woman from it
A clone if you please
Albeit with a little tweak
Wouldn't you found someone who is just like you?
Someone who's head can rest comfortably on your shoulder
Just as yours can rest on his/hers?
Someone who's hands perfectly clasped with yours
And even in the midst of the darkest night
Under the thickest blanket and drowsiest sleep
You can still find each other's hand and clasps it tight?
Someone who understand your jokes and worries
Just as you'd understand his/hers?
Someone who you can tell your secrets to
And who'd tell his/hers secrets too?

If this is true (and you are free to believe it is not)
Then for some reason God upped the game
He made so many humans with so many differences
And randomly hid the ribs among them
So human has to see pass the differences 
To find 'the rib' hidden inside
Or to find the one where 'the rib' come from
And be whole again
He forced us to see the soul
And not the human attribute such as shape and size
and colors and language and wealth
and culture and preference and other worldly things
He wanted us to see the soul
And thus making us whole

In a world of instant gratification
In a world of replaceable things
In a world where everything not as it seems
In a world where changes are constant (and to be expected)
Can we still believe such thing as soul mate?
Or is it just a fodder for our delusion?
A staple for our romantic addiction?
Something like the Unicorns and the glass slipper
Fancy to dreamed about
But couldn't be farther from reality
Can we really think it's real?

I have spent only a trifle of the nights of my life with you
I have spent only a trifle of the days of my life with you
I have shed only a trifle of the tears of my life with you
I have echoed only a trifle of the laughter of my life with you
I have been with you only for a very short time of my life
I barely knew you

But we fit perfectly
Our smile lifts each other's feeling
Our laughter is synchronized
Our tears went straight to each other's heart
Our worries are understandable to one another
Our embrace locked like a padlock
Our cuddle fits like two jigsaw pieces
And as I rested my head on your shoulder
Or you rested yours on my chest
Or when we walked together
Or sat together at dinner time 
Our hands can always find one another
And clasps tightly
And we know we have each other
And we know we are not alone
And we know we are a matching pair

I guess it is true, then
All the wives' tale and bible stories
Of how you have someone destined for you
Because I found myself in you
Because I am whole when I am with you
Because you indeed are: my destiny

Monday, December 2, 2013

Jualan Kemiskinan? Yuk Mareeeee......

Waktu berita soal iklan Lifebouy tuai protes di NTT keluar, banyak yang mencibir dan mencela. Dibilang pahlawan kesiangan lah, dibilang tak tahu diri padahal memang miskin lah, dibilang minta CSR yang lebih tinggi lah, intinya: "Elu miskin! Ngaca napa?!"

Lah, emang orang miskin ga boleh punya harga diri?

Pertama-tama, mari kita menekur sejenak: apa sih 'miskin' itu? Buat anda yang punya mobil, saya yang cuma naik motor tentunya terlihat miskin. Tapi di mata rekan anda yang punya 3 mobil, anda yang cuma punya satu tentunya terlihat miskin, dan bagi teman saya yang cuma naik bis dia lebih miskin daripada saya. Jadi apakah saya miskin? Kalau anda kekeuh bilang saya miskin, ya itu urusan anda. Tapi saya ga merasa miskin tuh. Dengan kata lain: kemiskinan itu sebuah perspektif.

Bokor perak buatan Bali, karena divisi silverwarenya Tiffany ga ngeluarin produk ini
#Sarkasme #siapayangmiskincoba

Orang-orang yang saya temui di Amerika sini tercengang-cengang waktu saya bilang hal paling berkesan buat saya di Amerika adalah air keran siap minum. Saya tahu mereka pikir negara saya miskin banget dong. Tapi saya ga merasa negara saya miskin. Awal-awal saya pacaran dengan pasangan saya, kami seringkali bertengkar karena saya merasa dia menganggap remeh Indonesia. Saya bilang: "Kami memang tidak punya kemudahan yang kalian punya, tapi itu bukan berarti kami lebih rendah dari kalian". Setelah hampir 2 tahun menjalin hubungan dan 4 trip/liburan ke Indonesia,  sekarang dia lebih kangen Indonesia daripada saya. Tidak punya sesuatu yang umum dimiliki orang lain bukan berarti kita miskin atau memiliki derajat hidup yang lebih rendah dari orang lain (yang kebetulan punya). Kadang itu cuma berarti kita menjalani hidup yang berbeda.

Saya sepenuhnya mengerti protes para masyarakat NTT. Bukan mereka belagu dan ga mau dibantu ya, tapi lebih ke harga diri mereka. Eksploitasi kemiskinan itu sering kok. Di Bali saya pernah bekerja dengan LSM asing yang konon membantu masyarakat miskin di Bali. Konon membantu, tapi tiap kali minta dana yang keluar adalah Poor, Illiterate, Disadvantage dan beragam kosa kata yang intinya: "ni orang miskin, kesian dikit kenapa?". Hasilnya: vila mewah di puncak bukit milik si penggagas LSM, dan perasaan rendah diri orang-orang yang dibantu. Kebayang ga, anda merasa hidup anda baik-baik saja lalu si orang reseh ini datang dan bilang: "Aduuuuh, gaji kamu sebulan cuma setara gaji saya seminggu....!! Kasian ya, pasti kamu ngerasa kurang bangeeeeet.....!!". Pastinya anda jadi merasa minder dan kesal kan, walaupun orang itu memang benar-benar tulus prihatin terhadap anda. Kalau kita ngerasa hidup kita baik-baik saja, apa hak orang lain untuk datang dan mengupas tuntas 'kemiskinan' kita versi mereka?

Banyak cara yang bisa dilakukan untuk membantu masyarakat NTT atau daerah penuh tantangan lainnya [Ingat, bukan miskin tapi penuh tantangan!]; dan itu bisa dilakukan tanpa mengeksploitasi kemiskinan, tanpa merusak harga diri mereka.  Contoh nyata: video untuk Charity Water dibawah ini. Sama-sama menyoroti kemiskinan, namun dibuat sedemikian rupa sehingga subyeknya masih punya "harga diri' dan bukan cuma sekedar: "Mereka miskin lhoooo.....!!!". Contoh lain bisa dilihat disini, sebuah parodi tentang maraknya iklan pencarian dana yang menitikberatkan kemiskinan di Afrika. Ibaratnya kalau mau ngebantu ya ngebantu aja, jangan bikin yang dibantu ngerasa dipermalukan dan kehilangan harga diri, jangan jualan kemiskinan demi tujuan situ.



Anda-anda yang membaca ini di laptop /komputer canggih dan hape mentereng di kedai kopi dalam mall yang harga secangkir minumannya yang paling murah setara dengan 3 nasi bungkus warteg pakai ayam mungkin tidak percaya kalau Indonesia masih dianggap negara terbelakang oleh para negara (yang konon) maju dan jadi bahan olokan. Berasa 'Jlebb' banget ga sih, sama-sama minum kopi bintang-bucks dan pake i(Lele)Pon tapi dianggap ga lebih baik (atau bahkan lebih buruk) dari orang homeless negara mereka. Ini jadi semacam misi pribadi saya untuk men-counter dan mengedukasi orang-orang yang miskin informasi ini bahwa Indonesia mungkin tidak punya standar hidup yang sama dengan negara (konon) maju ini, tapi warisan budaya dan kebajikan kuno kita jauh lebih maju dari kebudayaan mereka sekarang. Bahagia rasanya kalau pas saya buka mulut saya bisa mengutarakan hal-hal yang lebih santun dan lebih beradab daripada warga negara (yang konon) maju dan membuat mereka jadi respect dengan Indonesia dan tahu Indonesia itu bukan cuma sarang teroris dan negara terbelakang seperti digambarkan media mereka. Anda marah dianggap terbelakang dan sarang teroris? Kebayang kan perasaan masyarakat NTT.

Sudah saatnya kita melihat "kemiskinan" secara berbeda, bukan sekedar 'punya' dan 'tidak punya'. Tiap daerah memiliki standar kemiskinan dan kekayaan sendiri, dan memaksakan/menyama-ratakan konsep 'kemiskinan' itu sama efektifnya dengan memaksakan nasi sebagai makanan nasional. Kalau di Papua selama berabad-abad tidak membudidayakan beras dan makan ubi sebagai makanan pokok, bukan berarti mereka miskin bila tidak makan nasi kan.  Masyarakat NTT (dan banyak pulau/daerah lainnya di Indonesia) butuh air bersih, butuh aksesibilitas, butuh pendidikan dan tenaga medis, butuh pelayanan publik yang setara dengan daerah maju di Indonesia seperti Jakarta atau Bali. Ini yang harus kita lihat dan kita fokuskan. Kenapa mereka butuh ini? Karena daerah mereka sulit mencari air bersih, karena aksesibilitas dan pelayanan publik adalah hak tiap warga negara Indonesia. Ini alasannya. Jangan sekedar mencap mereka 'miskin', jangan alasan membantu karena mereka 'miskin', jangan jual 'kemiskinan' mereka. Anda tidak tahu, bisa jadi hidup mereka lebih bermakna dari hidup anda sekarang. Bila iya, siapa yang miskin sekarang?

Wednesday, November 27, 2013

Cerita Seorang (Setengah) Dokter

Saya Dokter.

Yah, tepatnya setengah dokter sih karena saya tidak mengambil residensi/ko-ass, jadi saya tidak bisa praktek dokter. Buat yang belum tahu, proses menjadi dokter di Indonesia adalah 4 tahun belajar teori dan 2 tahun kerja praktek/ko-ass, lalu dilanjutkan dengan PTT (kerja di propinsi terpencil) dan ujian akreditasi dokter, baru deh boleh buka praktek. Alasan saya berhenti? Tidak balik modal bro.

Dari ini...

Saya suka kedokteran. Dari dulu itu mimpi saya: menjadi dokter dan menolong pasien. Ga harus menyelamatkan nyawa dengan dramatis kaya di film-film, asal pasien saya bisa sehat saja saya sudah cukup senang. Ceritanya.  Tapi untuk sampai kesana perjuangannya luar biasa. Kalau yang kuliah ekonomi cuma perlu menyelesaikan 160 SKS, kita di kedokteran perlu 200 SKS plus tambahan SKS di program Ko-ass. Yang konon cuma 4 tahun bisa molor sampai 7 tahun (seperti saya). Lalu waiting list untuk masuk/melaksanakan program Ko-ass karena hanya tidak semua rumah sakit menerima program ko-ass. Karena universitas saya swasta dan tidak punya rumah sakit sendiri, alhasil kadang ko-ass menganggur selama berminggu-minggu sampai berbulan-bulan untuk mendapat giliran di rumah sakit. Yang konon cuma 2 tahun bisa molor sampai 3 tahunan. Belum lagi aksi tusuk sana-tusuk sini dan persaingan ketat sesama rekan sejawat yang tidak mau nilai saya lebih baik dari nilai mereka. Ini terasa sekali saat masih di program S.Ked/4 tahun teori, karena kalau rata-rata nilainya jeblok maka yang harusnya standarnya cuma dapat C bisa diupgrade jadi B atau A-. 

Saat saya lulus S.Ked saya dihadapkan dengan dilema: lanjut sampai dokter penuh atau tidak. Saat itu orang tua saya sudah beberapa tahun berpisah dan saya membiayai kuliah saya sendiri dengan bekerja menjadi guru Bahasa Inggris. Biaya ko-ass bahkan lebih mahal daripada biaya kuliah teori, dan jadwal yang tidak tentu berarti saya tidak bisa bekerja lagi. Mama meminta saya lanjut sampai selesai dan akan berusaha mencari uang yang diperlukan, dan bahkan dosen saya menjanjikan untuk membantu saya menyelesaikan kuliah saya. Tapi saya berpikir: kalau saya terus, berarti setidaknya saya tidak bisa menghasilkan uang sampai paling cepat 4-5 tahun (Ko-ass + PTT + akreditasi), lalu bagaimana saya bisa hidup dan kedepannya berapa banyak hutang yang harus saya bayar? Banyak senior kami yang akhirnya mengajar karena sebagai dokter muda/fresh graduate mereka tidak mendapatkan pasien. Konon ada yang sampai 5 tahun buka praktek baru mendapatkan pelanggan tetap. Masuk rumah sakit juga butuh koneksi dan sama ketatnya dengan mencari pekerjaan di bidang lain. Saat itu saya sudah mendapat gaji setara dengan rekan-rekan di Ekonomi yang sudah berkerja selama 2 tahunan, padahal saya hanya bekerja selama 3 jam sehari; teman saya bekerja menjaga klinik 24 jam dan dibayar setara dengan yang saya charge selama 1.5 jam. Ini jelas bukan pilihan, pikir saya. 

Saat saya kuliah dulu (dan belakangan ini) saya sering mendengar: "Dokter itu profesi mulia"; dan seringkali saya bertanya: apa sih kategori "mulia" itu? Apa menyelamatkan nyawa itu lebih mulia daripada, misalnya, wedding organizer? Sama-sama membantu orang toh. Dokter ya sebuah profesi. Dokter menerima bayaran dari pasien untuk mendiagnosa dan (kalau bisa) menyembuhkan pasien. Sama saja dengan montir yang menerima bayaran untuk mendiagnosa kondisi mobil anda dan membetulkannya. Bedanya adalah montir bekerja dengan benda mati yang selalu sama, sementara dokter bekerja dengan tubuh manusia yang selalu berbeda. Dokter tidak bisa menjanjikan kesehatan atau kesembuhan, dan ini tidak ada hubungannya dengan ilmu atau kelalaian lho. Tubuh manusia itu berbeda satu dengan lainnya, biarpun berat badan dan kondisi kesehatan sama tapi bisa saja efek obat yang diberikan berbeda. Tubuh manusia juga hidup dan terkadang walau sudah diintervensi dokter melakukan hal-hal yang diluar kendali si dokter. Kalau mobil bisa dengan mudah dibongkar pasang untuk melihat bagaimana cara kerjanya, manusia jelas tidak bisa. Dengan kata lain, kedokteran bukan ilmu pasti. Kedokteran lebih mirip sebuah "seni": seni menyembuhkan. Dengan melihat gejala dan sebagainya, seorang dokter bisa melihat (atau setidaknya menebak) apa yang salah dan berusaha membuatnya jadi lebih baik. Tapi ini bukan ilmu pasti karena tubuh manusia tidak sama satu dengan yang lainnya. Dan dengan berkembangnya ilmu secara umum, bisa saja protokol-protokol dan teknik pengobatan yang dilakukan sekarang justru dianggap berbahaya dan bodoh di masa depan. Orang Yunani kuno percaya histeria wanita terjadi karena indung telurnya berjalan-jalan/berpindah di dalam tubuhnya, dan diobati dengan ditakut-takuti (teriakan dan suara keras) agar kembali ke tempatnya. Sekarang kita cukup minum obat penenang. Dan bahkan di masa depan bisa saya kita bahkan tidak perlu obat penenang,

Menjadi ini...

Saya sepenuhnya setuju dengan pendapat yang bilang: Dokter itu juga profesi, jadi kalau salah bisa dihukum. Ini benar sekali, tapi dengan catatan bahwa yang mau menghukum dan merasa dirugikan harus mengerti bahwa kedokteran bukan ilmu pasti. Ada bedanya antara kelalaian/ketidak-pedulian dan kondisi di luar kendali si dokter karena - lagi-lagi - tubuh manusia berbeda satu dengan yang lainnya. Banyak juga yang dengan emosi berpendapat dokter tidak punya hati nurani kalau tidak membantu orang miskin. Ini juga harus ditelusuri: apa dokternya yang dengan songongnya bilang "Sorry ya, eike jijay sama orang miskin!" atau birokrasi rumah sakit yang menahan si pasien? Dan kalaupun birokrasi rumah sakit, apakah itu karena rumah sakitnya yang sibuk "Uang! Uang! Uang! Uang!!!" atau karena mereka berusaha menjalankan bisnis karena pemerintah tidak mampu memberikan jaminan kesehatan untuk rakyat Indonesia? Obat dan alat medis itu mahal lho bo'. Kalau tidak pintar-pintar mengelola rumah sakit bisa bangkrut. Katakanlah anda punya toko atau restoran, apa iya anda akan sedemikan mudahnya memberikan barang jualan anda atau makanan gratis bila ada yang datang dan bilang: saya miskin tapi saya perlu barang/makanan anda untuk hidup. Atau anda penasihat keuangan yang dibayar sekian juta per harinya, apa iya anda akan mau mengalokasikan waktu anda yang berharga untuk membantu mengelola keuangan si miskin? Mungkin anda rela, tapi kalau terus-terusan dilakukan bisa-bisa anda yang perlu bantuan. 

Saya tahu bedanya pelayanan dokter 'miskin' dengan dokter 'kaya'. Saat saya pergi ke dokter kulit di RSUD di Bali, si mbak dokter residen sibuk main BB dan tidak peduli dengan saya. Boro-boro ngecek, dia hanya bertanya kondisi dan sibuk mencatat lalu selesai. Terhina rasanya, walaupun saya cuma bayar Rp 15,000. Buat saya, profesi apapun tidak boleh membedakan klien/pelanggan. Biar dia bayar cuma sepersepuluh klien di rumah sakit mahal, kalau memang si dokter terima job disitu maka dia harus konsisten dengan pelayanannya. Kali berikutnya saya pergi ke rumah sakit swasta, kena Rp 250,000 termasuk obat tapi pelayannannya jangan ditanya... Sangat memuaskan! Saya diperiksa fisik, ditanya-tanya, dijelaskan, benar-benar money well spent rasanya. Soal obat juga demikian, saat mantan pacar saya kecelakaan dia diberikan obat untuk gegar otaknya dari rumah sakit pemerintah tempat ia dirawat. 7 hari meminum obat itu dia masih tidak bisa bangun karena pusing. Setelah mendapat obat dari spesialis swasta, 2 hari minum obat dia sudah bisa jalan-jalan. Obat itu mahal, dan sayangnya semakin poten sebuah obat maka semakin mahal pula harganya. Walau demikian saya pun tidak setuju bila dokter terlalu kemaruk dan terlalu mesra dengan perusahaan farmasi, karena pasien yang dirugikan. Cari tambahan sih boleh saja, tapi ada batasnya. Setelah saya membayar hampir Rp 20,000 untuk obat salep saya, seminggu kemudian saya menyadari bahwa sebenarnya ada istilah lebih sederhana untuk kondisi kulit yang saya alami: kena gigitan serangga tomcat. Dan salep tersebut cuma perlu bayar Rp 15,000 di puskesmas. Hadeuuuuh......

Kalau dokter sama dengan profesi lainnya (dan memang sama), kenapa dokter dihujat kalau mencari profit? Biar bagaimana, mereka juga harus balik modal lho. Saya rasa orang tua manapun yang meng-iyakan anaknya untuk menjadi dokter pasti berpikiran kalau ini demi masa depan anaknya, karena dokter adalah satu dari sedikit profesi yang akan selalu dibutuhkan walau sudah tua sekalipun. Dengan kata lain bermotif ekonomi. Saya setuju dengan pendapat bahwa dokter harus professional, tidak membedakan klien, dan tidak boleh lalai. Ini sebenarnya kode etik untuk semua profesi bukan? Mulai dari pembantu rumah tangga sampai direktur perusahaan. Tapi kalau soal dokter harus membantu si miskin dan siap menolong siapapun karena itu profesi mereka, monggo diingat kalau mereka juga manusia. Saya rasa kebanyakan dokter pasti lebih pilih mengelola orang kaya agar balik modalnya cepat. Apa iya ini salah? Kalau anda punya anak apa anda akan rela membiayai anak anda hingga sekian ratus juta dan membuat dia kehilangan setidaknya 10 tahun waktu hidupnya untuk belajar agar dia bisa berbakti kepada masyarakat, tanpa  pamrih atau imbalan apapun untuk anda? Dan bila anda yang menjadi dokter, apa anda rela mengorbankan 10 tahun waktu anda dan hidup morat-marit makan nasi dan garam agar anda bisa berbakti kepada masyarakat (dan ini setelah membayar kuliah yang sekian ratus juta). Yang namanya dokter bekerja di rumah sakit dan tidak bisa menolong pasien (kalau ditolak oleh rumah sakit), yang namanya dokter 'bermesraan' dengan perusahaan farmasi, yang namanya dokter memilih kerja di kota dan bukan di daerah terpencil, apa iya anda bisa menyalahkan mereka untuk mencoba mencari penghidupan yang layak? Kalau pasien sampai ditelantarkan atau tidak dilayani dengan baik, tentu bisa. Tapi bila semua masih dalam batas kewajaran, kenapa tidak?

Dan akhirnya ini....
Tapi perjalanan ini belum berakhir!!!

Bila sampai disini anda masih menyalahkan dokter dan dengan sinis berkata: "Apa si miskin tidak boleh sakit??", perkenankan saya menjawab dengan jujur: "Kalau di Indonesia sih tidak." Pertanyaan ini seharusnya bukan ditujukan kepada dokter, tapi kepada pemerintah Indonesia. Anda tidak bisa mengharapkan dokter berkorban demi si miskin hanya dengan jargon "itu profesi anda!". Mereka juga butuh makan bro. Bila saja pemerintah Indonesia mampu menjamin rakyatnya, saya rasa tidak ada rumah sakit atau dokter yang menolak pasien miskin karena tahu secara finansial mereka memang bisa menolong si pasien ini. Dan bila memang pemerintah tidak sanggup menjamin rakyatnya, apa yang bisa anda lakukan untuk sesama warga negara Indonesia? Bagaimana bila anda yang menjamin dan membayar pengobatan untuk orang-orang miskin ini, atau membuat semacam Community Hospital alias rumah sakit komunitas yang dibiayai dari kantong-kantong anda untuk para orang miskin? Jangan cuma bisa menuduh dokter malpraktik tanpa mengerti kompleksnya tubuh manusia, atau menuduh dokter mata duitan karena konon tidak mau membantu orang miskin padahal anda sendiri tidak melakukan apa-apa.

Masih berpikir dokter itu jahat rakus dan tidak berperikemanusiaan disaat mereka harusnya menolong manusia tanpa pamrih dan persetan dengan bea kuliah mereka yang mencapai ratusan juta? Mungkin anda harus berhenti sejenak dan membayangkan, bagaimana bila lebih banyak (calon) dokter yang berpikir seperti saya dan memutuskan berhenti kuliah. Mungkin ada harus berhenti sejenak dan membayangkan sebuah dunia yang berisi sales dan akuntan dan profesi lainnya tapi tak ada tenaga medis, atau dunia dimana tenaga medis sedemikian minimnya (risiko tinggi, balik modal susah, siapa yang mau ??) sehingga hanya orang-orang kaya saja yang sanggup membayar service ini. Masih mau menyalahkan dokter?

PS: Serius, kalau dokter anda memang sucks dan ga becus monggo diprotes lho. Ini bisnis bung, anda berhak mendapat pelayanan yang sepantasnya. Tapi ingat, dokter bukan Tuhan dan tidak bisa menjamin kesembuhan biar sehebat apapun doi. Istilah yang paling tepat: To cure sometimes, to treat often, to comfort always. Jadi jangan marah kalau si dokter sudah melakukan sebisanya tapi tidak sembuh, dan monggo misuh-misuh bila jelas-jelas ia lalai atau nyuekin anda. Salam!

Friday, November 22, 2013

The Real Reason Why People Should Travel

There are, you know, other countries. Ones with different rules and cultures and food, ones with different laws and norms. And you might missed them. You might missed them if you just sit around in front of your computer, or living your life without ever going anywhere. You might missed them if you did get around but too busy admiring the scenery or communicate with your inner-self (or social media) instead of observing the people around you. You might missed them if you choose to close your eyes and block your mind from anything "new".

I found a post about a modern-day slavery in US that intrigued me. A few people commented that the victim should just go to the police and reported them. As one person stated:
"NO ONE "lives a slave life" unless your stupid enough AND want to do it. Look at every instance that's made it into the press...IF your stupid enough to believe that walking out that door is bad then you deserve to be where your at and should be an economic unit." 
To me this sounded like a very good example of living inside your shell, and why you should travel even if it's a virtual travel through the internet.

My sister and son. 
There is more story in this to admire than just her elegant traditional dress

As painful as it is for me to admit, law in Indonesia are shaky at its best. If you were up against someone who had more money/power or a more 'respected member' of the society you might find yourself at the deep end instead. Take Prita's case, who was sued for libel defamation just because she posted her complaints about a hospital in her mailing group. Authorities are not really fond of helping you out too, it's easier to just slip an extra Rp 20,000 to an office clerk that you know at the police station when renewing your vehicle's license than to do the whole shenanigans by yourself (which will end up costing you both time and money). Even though not all authority/government staff are like this, the overall situation conditioned us to distrust and become very reluctant in dealing with authorities. I can't imagine how the slavery victim can just go and report to the police, because even with my husband constant assurance and complete documentation I still found myself nervous and reluctant when I have to deal with US authority. He kept on saying that they couldn't harm me, yet it was not easy to just change my mindset. 

This fact is mind baffling for country citizens where laws are upheld and their authority/government are set to help them in every part of the way. But as I said: different countries, different rules. And this is why travelling is important for you, because ignorance and indifference could hurt. 

So many people returned home from their travel with only pictures and videos on their SD cards, or the story of that excellent night of rave partying, or about their new-found conscience and re-uniting with God. But travelling should be more than that. It wasn't always about what you experienced, but it's also about what you learned. It's not about 'visiting' a place, it's about 'learning' that place. It's about discovering and understanding another part of the world, and realizing that that's what make the world is so awesome. Travelling should be about humanity in general, because even in the most desolate deserts or the highest mountain top you would need to interact with human to be there. 

Indonesian's carnival game: Duck ring toss. 
Because tossing a ring to a bottle would be too easy :p

In a world where hate and destructing 'criticism' are freely given through the mask of internet, travelling might be a way to world's peace. Understanding is basically accepting, and if we learned to accept that there are things 'different' than what we know we wouldn't be in constant "you offend me! No, YOU offend me!" situation. This is basically a cheat sheet for those who couldn't (or didn't have to patience to) find the great karmic peace within them. And it sure is nice to get more peace and have less people complains about getting pissed off from other people's pure indifference and ignorance

Do the world a favor. When you travel, even if it's just cross-country for the thanksgiving, observe the people around you and how they live their life. Places where people live shaped their character and their view in life, and you might surprised on how refreshing it is to see a new point of view. Some you will disagree with and some you will hate, but remember that you are not there to judge. You are to observe and (hopefully) to understand, but never to judge; and to realize what a vast, diversified, and beautiful world we have. This appreciation would be a valuable memento of the trip, and the real reason why people should travel. 

Tuesday, November 19, 2013

Ayo Bangkit Indonesia!!!

Tahukah anda satu kesamaan tiap kali ada artikel tentang Indonesia di media Amrik? Komentar negatif.

Baru saja saya membaca berita tentang gempa bumi di wilayah timur Indonesia. Saya bersyukur tidak ada korban jiwa ataupun efek yang signifikan. Namun yang bikin saya emosi adalah komentar-komentar pembaca yang sinis/negatif. Ada yang bilang Indonesia "muslim crap-hole", ada yang bilang Obama bakal kesini bagi-bagi duitnya Amerika (kaya kita butuh getooo). Menyebalkan banget ga sih?



Masalahnya, komentar-komentar ini selalu ada tiap kali ada artikel tentang Indonesia. Seolah-olah bagi pembaca budiman kita di Indonesia ini: 
A) Perusak lingkungan - karena nebangin hutan
B) Teman kongkow/ce-es annya Obama yang akan selalu dilindungi dan dikasi duit
C) Negara terbelakang dan amat-sangat miskin yang terus minta bantuan ke luar negeri
D) Pusat teroris

Tiap kali komentar-komentar ini muncul saya selalu berusaha mencounternya walau saya tahu tidak banyak gunanya karena orang-orang model begini tidak akan percaya atau peduli dengan pendapat saya. Tapi saya mencounter bukan dengan tujuan membalas si komentator dodol itu, saya mencounter agar pembaca lainnya mengenal Indonesia lebih baik. 

Saya ingin pembaca Amrik tahu bahwa:
A) Hutan kita ditebang dan sumber daya kita dikuras bukan karena penduduk Indonesia rakus, tapi justru untuk melayani demand/permintaan global yang mayoritas datang dari negara maju.
B) Obama bukan ce-es kita. Dia cuma pernah sekolah sebentar disini dan sejujurnya saya ga yakin dia segitu mesra/nge fans nya dengan Indonesia. Jangan nyari2 alasan cuma karena ga suka Obama terus dikait2kan dengan (konon) negara teroris
C) Hello? Situ yang butuh kita. Kearifan lokal Indonesia itu cukup untuk bertahan hidup dimanapun, dan sumber daya alam kita juga melimpah ruah. Jangan salahkan kita miskin, salahkan penanam modal yang maunya ngeruk kekayaan Indonesia saja. Dan kalau ga rela kasi bantuan ya ga usah...
D) Indonesia BUKAN negara Islam, dan Islam juga tidak identik dengan teroris. Hampir semua teman saya yang beragama Islam oke punya dan tidak mengikuti stereotip "teroris" hasil ke-parno-annya orang Barat. Dan lagi, kalau kita segitu terorisnya kenapa ga kita yang diserang duluan setelah Afganistan etc?


Demi meringankan gejala homesick saya, si Akang memasang peta Indonesia yang besar di dinding apartemen kami. Setelah dipasang dia komentar: Indonesia itu ternyata besar ya. Dan dia tidak salah. Indonesia itu memang besar. Pertanyaannya, apakah kita yang orang Indonesia sadar kalau negara kita adalah negara besar, baik dari segi ukuran maupun kemampuan/potensi? Kita cukup besar sehingga negara-negara lain ngeh (dan parno) soal kita. Kita cukup bijak dan tangguh sehingga bisa bertahan dalam kondisi ekstrim sekalipun. Kita tuh... keren. Tapi biar sekeren apapun tidak akan ada pengaruh/manfaatnya kalau kita tidak ngeh kalau kita keren, atau kalau kita tidak sadar siapa dan apa itu orang "Indonesia".

Tiap kali saya baca komentar di media Indonesia, biasanya saling nyolot/ejek mengejek masalah agama. Atau mirisnya saya saat baca "Tanya Jawab Ahok" dimana beberapa pertanyaanya berkaitan dengan rasnya. Sekarang begini ya para pembaca yang budiman, Indonesia itu bukan satu agama saja. Indonesia itu terdiri dari beragam suku bangsa dan beragam agama, dan salah satunya adalah keturunan Cina. So what gitu lho? Si Mbak ini marah-marah karena dia merasa distereotipkan sebagai keturunan Asia timur, padahal dia warga negara Amrik. Saya nggak mengerti kenapa dia harus emosi, mengingat kebanyakan orang Asia belum terlalu lama menjadi imigran disana, paling tidak yang tercatat (untuk asia timur) adalah semenjak 1778 dan abad ke 19. Wajar kalau mereka masih dianggap "asing". Sementara di Indonesia yang keturunan Cina nya sudah berabad-abad dan bergenerasi-genenrasi, beberapa keturunan kerajaan bahkan menikah dengan penguasa lokal, kenapa masih dipertanyakan dan diperdebatkan bahwa mereka warga minoritas? Bukankan Bali yang cuma pulau kecil juga hitungannya minoritas? Atau Lombok dan Sumba?

Kalau kita mau Indonesia bangkit, kalau kita mau Indonesia berjaya, kita harus berhenti berpikir "Saya!!!". Anda ya memang anda, tapi mari berpikir lebih jauh dari sekedar keberadaan anda, mari berpikir tentang keberadaan anda selaku warga negara Indonesia. Indonesia tidak dimerdekakan oleh satu golongan/agama/ras/suku saja, dan tidaklah mungkin Indonesia bisa dijalankan dan meraih potensi maksimalnya hanya dengan satu golongan/agama/ras/suku saja. Kalau mau begitu, pilihannya adalah kembali ke jaman pra-kemerdekaan dimana Indonesia terdiri dari berbagai negara-negara/kerajaan-kerajaan kecil yang dimana mudah sekali dimangsa oleh negara besar. Apa ini yang anda inginkan?

Saya ingin orang tahu hebatnya Indonesia, saya ingin orang menghormati negara dan asal-usul saya dan berhenti mengolok-oloknya. Satu-satunya cara adalah menyadarkan mereka (dan dunia plus orang Indonesia sendiri) betapa hebatnya dan kerennya Indonesia. Dan ini tidak akan tercapai bila kita sibuk bertengkar dengan penuh keparnoan terhadap sesama warga negara yang berbeda agama atau suku, dan bukannya bersatu memajukan Indonesia. Jangan mau dan jangan puas cuma jadi bahan ejekan negara lain. Ayo bangkit Indonesia!!

Monday, November 18, 2013

Pursuit of Happyness

My husband did his little victory dance last night. It involved a lot of hip-thrusting, arms raising, and various smug expression which all said: "Yeah I did it!". The reason? Peanut butter and jelly sandwich.

It is hard to believe this is the same man that only a year ago was a chain smoker and went bar-hopping to forget how much he hate his life. This is also the same man that a mere 6 months ago was in a constant debate on how ridiculous living in California was, that the same amount of money he paid for his huge house in Arizona was only enough to pay the rent of our small apartment here in California. And this is also the same man that a mere 2 months ago would come home and sat and watch video in the internet all night long, completely oblivious that I was also in the same house with him. He is still the same man. The only difference is that he's happy now, and he knows that he's happy.



So often I hear people say: Happiness is a choice. It was as if we can easily choose to be happy, just as easy as deciding to have pizza for dinner instead of pasta. But if you never had a pizza before, how do you know you'd prefer that over pasta? And even if you do know pizza, how do you know which would make you happiest: with pineapple instead of jalapeno, or pepperoni instead of ham? When my husband went into depression, it's one of the things people would almost always say to him: You need to be happy. Sure, but how? It's not that he didn't want to be happy, it's not that he didn't choose to be happy, it's that he didn't know how.

Happiness is not a choice. It's a state of recognition, a degree of awareness. You need to be able to see your life or your current condition objectively to find happiness, to realize whether your life was in fact really that sucks (or not). My husband got the cheat sheet. He went to Indonesia and got himself both a wife and a life changing experience. His trips to Indonesia change his whole perspective of life, and made him appreciate the perks and the infinitely easier life in the US. When I came to US, I was enthralled with all the little things that he was so accustomed to, and that in turn made him appreciate the life he lives in even more. It's the little things that counts.

Yet in a way, happiness is also a choice. In one of our heated argument during his depression period I told him: I need you to be happy because I deserve to be happy with you. As selfish as it sound, it worked. He acknowledged the things he would miss if he kept being depressed. He found things he like, and he pursued them. He laughed more. On rare occasions where his depression coming back with a vengeance, he would hold himself in tight check and wait till it went away instead of succumbing to it. He would smile even when it's difficult for him to smile. He wanted to be happy, and now that he can be happy, he choose to stay happy.



As I said, he got the cheat sheet, the (kind of) easy way to find happiness. It was by far an impressive feat, but he had his life experience and a perfectly compatible partner to help him found it. A lot of people don't have this privilege. A lot of people spend their life with the nagging emptiness inside them, which can not be satiated even with the fanciest cars or biggest houses, and even with the self-improved articles or advice from life-style gurus still couldn't see how they can be happy. As my husband put it: "I spend my youth thinking that I would be happy if I have a better car or house than my friends'; and at times I would have that urge, that insatiable craving that I just have to have something, like a designer shoe or latest gadget which I just can't rest until I have it. I don't feel that anymore."

Happiness is about being grateful, it's about accepting your situation and make the best of it, it's about self-control and desire to be better. Happiness is about loving yourself, and thus the life you live. It is not a constant condition and its intensity (or even its existence) may differ from time to time. But if you had more sunny days than rainy days, I think you did pretty good :).

My husband and I love to eat, and therefore we really enjoy our grocery shopping trips. We'd high-five when we found a good deal at the supermarket, or a simultaneously "Yes!" and arm pumping when we do price-checking and noticed we have previously bought the same item at another store for a better deal. A pizza toast on a bolilo roll for late-night snack is enough to made us grin with happiness. A trip to Santa Monica pier or a walk at The Getty was our idea of fun, but so does hanging out at the library or watching a concert in the park, or even our daily evening walk around the apartment complex. His (not-so) secret desire was to once again swing on a rope at Bali's waterfall and do a dangdut dance at the local carnival in Indonesia. Finding hidden geocache in the middle of a desert or in a busy park excites us. And yes, peanut butter and jelly sandwich for snacks. Those are the things that made us happy. What made you happy?

Friday, November 8, 2013

Save Those Hotties err Kitties!!!


Taken from Kittendales Calendar, The 2014 edition is the seventh annual calendar featuring "kitties and hotties" to raise money for the Hull Seaside Animal Rescue (HSAR) in Massachusetts.
Read more about it here.

Amen to this!!! God knows how we need to save the hotties, err the kitties!!
Yes, as I told you before women enjoy this kind of thing too ;)

Feeling degraded boys? Bummed out because you are not got enough like that sexy piece of male specimen (the one in denim, not the one in furs)? Got that nasty feeling in your gut that you were being objectified and vilified? Or have the surge of pride instead? We women deal with those emotions every time we are being portrayed or portraying ourselves for the pleasure of men, and yes it doesn't always feels nice. Welcome to the club!!

Thursday, November 7, 2013

The Day I Lost Her

"I'm leaving, Seth."

My gut felt like a knot. I knew she was up to something when she asked to meet up in the airport. I had to rush through the traffic, because she said don't be late. I'm lucky I didn't get any ticket or worse, any accident as I drove like a madman. All I could think about was her, and I fervently hoping she was okay. Then I walked into the coffee shop and I saw a huge backpack next to her. And I knew all was lost.

"Where?"

She handed me her plane tickets. 

"When will you be back?" I knew the answer, but I just had to ask.

"I'm staying for good. I got a teaching position there."

I was still holding her ticket, fighting back the tears. "This is a third world country. A terrorist country. Are you insane?"

"No. I've thought about it carefully. I need to go Seth. I need to be whole again. And please, don't call it a terrorist country."

"It wasn't your fault!" I blurted out. "It wasn't your fault what they did to you!!"

She smiled, looking so serene. "I know it wasn't my fault Seth. But does it matter?"
"The pictures are there, Seth; and so does the video. It will never go away."

"We can go to the police, we can put them behind bars. Come on, you can't just run away!"

"Sure we can, and what will they get? A few years in jail, or maybe none at all. And in the mean time, I had to live with those pictures and video." 

She looked intently at the coffee in her cup.

"People say I am a whore, Seth. People blame me for going to that party and drink. People say I get what I deserve. I got a teaching degree and I don't think I can ever use it here. I can't think how a school would want such an infamous person to teach their young children."

Her tears fell one by one into the cup; first so slowly, then it was a stream of tears. It reminded me of the first storm we encountered as a child together. Back then I kept asking myself, will it ever stop; I found myself asked the same question now.

"And if I have a child, what would I say to her, or to him? That mom was raped in a party just like a cheap whore? And if I found a man that I would love, can he lived with all those pictures and video? I need to go Seth. I want to go and leave this all behind."

I was numb. "It is not your fault. They drugged you. They rape you."

"Seth," she laughed sadly, "Does it even matter?"
"There are pictures of me being 'done' by two men, of their derogatory 'handicrafts' with Sharpie on my body, there are pictures of me being used as a sex object when I passed out, and a whole video of their games. They have their fucking Facebook page for God's sake. Does it even matter how I got there?"

"So this is it? You are basically running away?"

"Yes Seth, if you want to put it that way. Yes." She looked up from her cup and looked into my eyes, "I was actually thinking of kicking the bucket, you know. Just get it done with. But then I thought, those images would live forever. Even after I am gone, those images would still be around."

"I will not let them destroy me Seth. I will outlive their deed."

"By what? Going to a Muslim country and live there? This is suicide! Just another form of suicide!"

"Seth, that is not a Muslim country. It has a huge population of Muslim but it is a Democratic Republic. See, I've done my homework."

"You'll just get raped again there. They don't value women for Christ's sake! How can you be so naive and think you would fare better there?? Come one, get real! We have laws here, not so dumbass corrupt officials that needed bribes. We have freedom here!"

"Freedom for what, Seth? Freedom to violate someone else because society said it's ok? What's so different with them?"


"You are sick. You need professional help."


"No I'm not. But you know what I do need, Seth? I need to get out of this hell hole."

She took a deep breath and was silent for a few minutes.

"I thought it was fun, Seth. Mimosa or Champagne brunches, bar hopping, cocktail nights, there was always alcohol around. I thought it was fun, and only weirdos and ultra-fanatic zealots that would say no to alcohol. Then it happened. I am not sure it was fun anymore."

"You were drugged for God's sake! You could have been drinking water when they drugged you, not alcohol!"

"True. But I can easily passed out myself from all the drinks. And when shits happen, I am on my own. Isn't it ironic that our society dictates alcohol and sex to be a part of our culture, but do not protect me from the disastrous result?"

She smiled, "You said they don't value women. It was so wrong. But even so, wouldn't it be nice to have some limit? To actually stop being intoxicated just to fit in, to actually treat sex like a big deal. It's good to have some "No"s once in a while."

We sat in silent, and I accompanied her to the boarding gate 10 minutes later. None of us spoken, except for a sorrowful goodbye that she whispered in my ears when I hug her tight. And with that, my friend was gone forever. 

I walked back to my car and sat there for a long time, painfully trying to memorize the warmth of her body from our last hug. I tried to recall her smile and her laughter, the beautiful soul that I had known throughout our childhood, my beloved friend for almost all of my life. But I couldn't. All that I can remember was her tears, her agony, her sufferings. And the photos. The wretched photos and video. Then my phone beeped.

Message from Louis K
Hey Bro, the new stuff is here. Just in time for the party tonite ;) :)


My hands trembled and bile was rising quickly to my throat, my eyes were teary as I tried hard to stop the the incoming vomit. It took me a while to calm myself, and when I did, I cried for a long time. It just dawned me that the 'bitches' that my 'bros' preyed were somebody's daughter, somebody's friend, somebody's sister. And it could have been my daughter, my sister, my friend. I remember the last girl I raped in our last party, her face kept surfacing in my mind, with tears flowing endlessly. And then the one before that, and the one before that, and so on. Their faces intermingle with each other and so was their tears until somehow it become Lisa's face, my dearest friend Lisa who was like a sister to me. And I saw her mouthed that sorrowful goodbye. I cried in agony: "I'm sorry. I am so so sorry...!!!


-Dedicated to Roast Busters victims. Stay strong ladies.  

Saturday, November 2, 2013

I Am Not Young Enough To Know Everything

I am not young enough to know everything
This aching bone, this sunken cheeks
This leathery skin, this wilted flesh
This bliurred memories and dim vision

Gone were the days when i am young
A sprightly youth, a tender soul
Eyes that see things, mind that is open
And the beautiful, beautiful experiences

Every muscle knows something,
memorizing it clearly from my movement
Every gaze reveals something,
Understanding it from my experience

Lo and behold, i know things!
Fear and pain have not bind me yet
And neither do pessimism and doubts
And thus, I truly know things

The beauty of the world
Its wonder experienced in all my senses
The delight to be a part of life
Oh how good it is to be young!

But now I'm old, and I forget
The knowledge flickers and dims like an old light
It swarmed me like the morning fog
Cold and shapeless, a fraction of dream

Will I ever be back again?
Will I ever know things again?
Curse this age and the life I live
Curse the pain and dissapointment that broke my wings

My child wanders around freely
Smile on his face and laughters galore
Experiencing things, knowing things
Understanding things in life and enjoying it

But not me
I am not young enough to know everything

Friday, November 1, 2013

Bust That Bust-y Move!

"The part of a woman’s body men look at the most?
I hope you are sitting down, because I'm about to give you the shock of your life...."

And according to the said article, the answer is....... Breasts!!!
Yes, yes, feel free to bump your head in unison to the desk.
Elvira, the only character I know that successfully match her boobs and her personality

I hope the writer was joking or she was being sarcastic, because I seriously doubt that this comes a shock to anyone. I mean, even a blooming adolescent (a.k.a teenager) would know that. It is difficult not to gaze upon those little hills (or to depict Pamela Anderson's or Christina Hendrick's: the huge treasure chests). Even for the slow thinker, you must have realize by now there is indeed a reason why women selfies on the internet (or ones that you receive/sent) almost always include these handful part of the bodies. And yes, there is also a reason why boob job is always in popular demand. This is no mystery of life, this is common knowledge.

That asides, the reason I wrote with puns and sexual innuendo is because I don't understand why looking at boobies is widely frowned upon. As the article say, women also look at other women's chest too. I know I do, and I notice my girl friends do too. Well, some of them look at their shoes and hairdo first, each to each own I guess. But for men, well... Quoting the article: "Men look at chests and waists for longer periods of time than they look at faces." Chests and waists are the tell-tale sign of how reproductive a woman is, at least theoretically. Thus it actually make sense if men in general look at women like that. I would be very surprised (and totally freaked out) if a man come to me and said lustily: "You have a very sexy thumb, it arouses me...". This, of course, still a plausible scenario; but again, each to each own.

Here's a picture of my thumb. You are welcome.

Which brings me to another side of the booby-trap, the discomfort and unpleasantness women often feel when men ogling their chests. Men (and some women too), I just want to tell you that although I can understand you throwing glances at a woman's chests, you are not supposed to stare them to eternity. Appreciative glances are ok, the "You... Me... Tonight..." glances are never ok (and ladies, you are welcome to call the police or take action for this). Imagine if someone stare at the bulk in your groin for like a whole minute or more, what would you feel? (I assume the lot of you men would feel uncomfortable, but for those individuals that cherish the pleasure, you're welcome).

Am I being malicious towards my fellow women? Heck no! If you think women wouldn't notice Christian Bale or Channing Tatum crossing the street topless then you got us soooo wrong. I believe that women is also appreciative to men's body, but we just don't show it as open as our male counterpart. Therefore I see no reason why men can't check out women's body, because sure as hell we can check out theirs as well. This is what equality is all about. What confuses me is women who dressed up in low-neck shirts that accentuate their chests, and then complained about being ogled and stated: "I am more than just a set of boobs you know!!". Uhhh.... well then cover up and let me see what you got, because Thelma and Louise kinda distracting me. Yes by the way, I am a straight woman, thanks for asking. It is similar to a man  who decked out with fancy suit and expensive cars (and platinum cards, woohoo!!) and moaned: "I am more than just a stack of money." Yes honey, sure you are, by the way those earrings at Tiffany would look awesome on me, don't you think? Or a man with six pack abs and a killer smile who is so hot he could melt Sauron's ring in a flash: "I am just an ordinary man. I have feelings too." Sure love, I totally get it. What's your phone number again?

We. Must. Not. Ogle
We. Must. Not. Ogle
We. Must. Not...
OMIGOD!!!!

In a shell, given a chance I think women would do exactly what men would do in terms of appreciating the opposite gender's body. Thus unless it is become displeasing and worrisome (seriously, ogling on us too long and make lewd comments or offensive gesture is just so tactless and worth a visit - your visit - to the police), I think people should just chill out with this busty-move, especially in terms of relationship. A lot of women got hung up if they found their partner checking out or complementing other women. I don't think your partner would leave you just because he found other people's breasts fascinating (but if he specifically offer you a boob job to fit his fantasies, you might want to leave him. Or not. Depends whether you want the free boob job or not). If we women get faint and woozy after a seeing Ryan Gosling or Hugh Jackman, let the men have their own fun too. The borderline is, in my opinion, when it becomes disrespectful towards you as the video below comically portray. I mean like, d'oh.



I have boobies and I don't like when people being disrespectful towards me because of them. I don't like when people disrespectful towards me in general, especially for things that I couldn't (and/or wouldn't) change such as my race, my age, my skin color, my nationality, my body shape and size, and all that jazz. I really think that is all there is to it. The issue is not about ogling at boobies, the issue is being respectful vs disrespectful; and as I stated above, the line is pretty clear. We know you guys are fascinated by us, but keep it civil and respectful kay. We'll respect you even more for that, even though you don't have the six pack abs or the legendary Black Amex. See, us women can be judgmental too if we want ;)

Tersandera Buruh dan Tenaga Domestik

Kisruh soal gaji buruh bikin saya teringat "episode" saat salah satu bos saya mencari pembantu baru, kebetulan teman saya yang bertugas mewawancara:

Teman: Gajinya minta berapa mbak?
Pelamar: 800 ribu bersih. Ini ngga termasuk uang kos, cicilan motor, makan dan biaya sehari-hari saya.
Teman: Hah? uang kos dan makan juga kita yang tanggung? Total berapa mbak?
Pelamar: Yah, sekitar 2 juta. Iya, itu semua situ yangg tanggung. Kan situ ga nyari pembantu yang tinggal dalam
Teman: Kalau tinggal dalam minta berapa mbak?
Pelamar: Saya ga mau kalau tinggal dalam
Teman: Oh... Emm... Humm.... (shock)
Pelamar: Oh ya, pulsa juga ya
Teman: Kok tinggi banget mbak mintanya?
Pelamar: Biasa saya kerja sama bule dibayar segitu. Kalau situ ga sanggup ya ga usah.
Teman: Hee???????????????

Acara bersih-bersih tahunan (ceritanya)

Di Bali, lebih sakit hati mencari tenaga kerja rumah tangga (pembantu, sopir, dll) daripada mencari tenaga kantoran. Kalaupun ada, gaji yang diminta selalu selangit dengan alasan orang bule bayar mereka lebih mahal, padahal hasil kerja mereka sering kali dibawah standar. Ini satu lagi alasan mereka, beberapa kali saya menghadapi pelamar yang dengan tegas mengatakan mereka tidak mau kerja kalau tidak dengan bos bule, karena bule lebih royal dan ga banyak cing cong. Intinya mau gaji besar tapi tidak mau kerja maksimal. Waduh... Sementara satu kali ada seorang pelamar yang baru saja selesai kerja di hotel berbintang di Afrika Selatan dengan posisi yang cukup tinggi. Teman saya sampai gemetaran mewawancara orang ini, karena ia melamar untuk posisi sopir. Waktu ditanya kenapa, dia bilang dia asal bisa kerja saja sambil menunggu jawaban untuk lamarannya ke berbagai hotel. Teman saya mengingatkan bahwa pekerjaan ini "kasar", karena termasuk cuci mobil dan sebagainya, dan dia cuma tersenyum dan bilang: yang penting kerja mbak. Sayangnya kami tidak bisa menerima orang ini karena dia over qualified dan kami butuh driver yang permanen. 

Kalau dipikir-pikir ironis sekali, seberapa sering sih kita yang pegang ijazah saat wawancara bisa dengan pedenya bersikap: "Kalau loe ga sanggup hire gue ya ga usah!" dan mendikte bos kita? Seberapa sering sih kita dipertahankan di perusahaan walau kelakuan kita jelek banget dan hasil kerja kita ga beres? Si bapak yang pernah kerja di AfSel saja mau humble dan mengerti ia butuh pekerjaan, sementara si mbok yang cuma bisa ngetik SMS berani belagu dan menuntut ini itu. Kayanya kita yang pekerja kantoran bisa diganti dengan amat sangat mudah, kayanya kita ga ada artinya. Ironis bahwa kita yang bekerja keras dan mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk pendidikan punya nilai jual yang lebih rendah daripada tenaga domestik yang pendidikannya SMA.

Saya selalu respek dengan tenaga domestik. Waktu saya kecil keluarga saya selalu punya Mbok yang membantu mama dirumah. Biasanya Mbok-mbok ini datang benar-benar tidak tahu apa-apa, dan setelah setahun-dua kerja di rumah saya "lulus" dengan pengetahuan penuh: memasak, memakai mesin cuci, dsb; mereka lalu bisa mendapatkan pekerjaan yang gajinya lebih bagus. Ini yang saya hargai, niat untuk memperbaiki diri, bukan cuma menuntut hak tapi juga melakukan kewajiban. Sayangnya mbok-mbok sekarang lebih hobi pegang hape daripada kerja, karena tau ibu-ibu yang desperate untuk bantuan mereka ga akan berani protes rumah kurang bersih etc karena kalau bukan mereka mau cari dimana lagi? Buat saya, ini rasanya kaya pemerasan banget. Begitu halnya dengan buruh. Kita butuh mereka, mereka butuh pekerjaan, tapi kenapa mereka yang mendikte kita? Yang anarkis dan mengancam kita? Kalau kita ga mau pakai mereka, mereka juga rugi kok. Saya merasa tersandera dengan orang-orang ini.

Di Amerika, tenaga pembantu domestik atau kerennya domestic cleaning service itu muahal, $100/2 jam, misalnya saja tempat ini. Tapi hasilnya jangan ditanya, rapi jali bo'! Ini yang resmi ya, yang berijin dll. Namun banyak juga imigran yang menawarkan jasa mereka lebih murah (ini tanpa ijin ya), masalahnya kebanyakan dari mereka bahkan tidak bisa bahasa Inggris, dan kalau ada apa-apa juga sulit lapor ke polisi karena banyak dari mereka yang sebenarnya imigran ilegal. Seandainya saja di Indonesia ada yang model begini: yang bisa direview dan perusahaannya benar-benar service oriented. Atau persatuan buruh yang isinya tenaga-tenaga buruh profesional yang kerjanya efisien dan cepat mengerti. Kalau pembantu banyak sih seperti itu, tapi biasanya yang ada di Indonesia cuma mentarget seberapa banyak pembantu yang bisa "keluar"; begitu pula persatuan buruh yang saya sebut, itu ada dan istilahnya outsourcing, yang lagi-lagi cuma bikin buruh/membernya sapi perahan. 

Saya pendukung berat persamaan derajat dan membantu kaum miskin, tapi sori banget, sudah ga jaman lagi demo-demo minta gaji besar dengan pendidikan minim (dan hasil kerja yang mengenaskan). Miris banget kan membaca mereka minta gaji sampai 4 juta, tapi "anggaran pendidikan" mereka cuma Rp 15,000 untuk beli koran/tabloid. Itu cuma dapat 2 tabloid lho, karena koran saja harganya Rp 3,000 seharinya. Apa sih yang bisa dipelajari dari tabloid Indonesia? Bola, motor, atau gosip? Buat saya argumen "wong cilik" mereka patah begitu mereka menuntut rumah 3 petak, belanja baju Rp 300,000 per bulan, dan makan diluar (plus susu, kopi, teh, dan buah) tiap hari. Ini bukan "wong cilik" lagi, yang pegawai kantoran saja tidak bisa hidup seenak ini. Bukan "wong cilik" kalau bilang jumlah sekian "penghinaan" karena banyak masyarakat Indonesia yang cukup atau bahkan sangat bahagia dapat gaji 2,4 juta rupiah. Dan kalau mereka merasa berhak dapat gaji sekian, maka sopir mikrolet metromini dan angkot lainnya juga berhak dapat gaji/pendapatan sekian karena mereka juga "wong cilik". Siap-siap deh ongkos angkot naik, eh tapi nanti mas-mas tercinta butuh kenaikan lagi dong... Emang loe pikir duit cuma tinggal nyetak aja??? Argumen "wong cilik" mereka juga jelas patah begitu mereka melakukan tindakan anarkis atau merugikan masyarakat luas. Sori bro, gue kesian kalau hidup loe susah, tapi jangan nyerang atau nyalahin gue kalau loe sirik sama hidup gue, jangan maksa gue nanggung defisit hidup loe dan bikin loe punya hal-hal yang gw punya. Gue ga nyolong dari elo ato nyusahin elo kok!

Yang Indonesia butuhkan adalah keprofesionalan, dan orang-orang yang service oriented. Saya membayangkan di Indonesia ada grup tenaga domestik yang dikontrol ketat, yang hasil kerjanya memuaskan dan bisa dipercaya; tidak masalah kalau yang bisa dilayani hanya segelintir orang, karena dengan sendirinya grup ini akan selalu dicari dan bisa pasang harga lebih mahal. Begitu pula dengan tenaga buruh atau pekerja lainnya, yang isinya orang-orang yang secara aktif memajukan diri mereka misalnya belajar komputer, bahasa asing, dan lain-lain. Istilahnya, kalau anda tidak oke dalam pekerjaan anda (walaupun itu kerja kasar sekalipun), maka good bye selamat tinggal. Jeleknya mimpi ini adalah, bila terwujud maka tenaga domestik tidak terjangkau lagi bagi kebanyakan masyarakat Indonesia (sekarang pun sudah sulit sebenarnya). Tapi serius, apa anda benar-benar rela dipaksa membayar mahal untuk hasil kerja yang tidak seberapa? Sudah saatnya pistol itu diturunkan. Saya bosan disandera seperti ini.

Thursday, October 31, 2013

Mas Buruh, Sadar Dikit Dong

Jlebb....
Demikian bunyi hati saya saat membaca artikel Kompasiana ini, yang menyatakan buruh Indonesia meminta gaji 4 juta rupiah. Dari nominalnya saja saya sudah sakit hati, apalagi saat baca perinciannya. Saya jadi tergelitik membandingkan nilai tersebut dengan saat saya bekerja di Jakarta (saat masih menjadi mahasiswa):

1. Perumahan 
Buruh: Uang sewa rumah 3 petak (Rp 750,000)
Saya: Kamar mungil 1 petak di kawasan mahal dekat kampus yang hanya berisi kasur dan lemari. Plus AC (Rp 750,000) 

Buruh: 30 item perabotan rumah termasuk kasur, dipan, sprei, meja, lemari, dispenser, mesin cuci, kipas angin, perlengkapan makan  (Rp 300,000)
Saya: kasur+dipan+lemari+AC+cuci baju dari kos, sprei+dispenser+kipas angin+peralatan makan punya ortu/dikasi teman (Rp 0)

Buruh: Biaya listrik 900 VA Rp. 100 ribu dan air PAM untuk keperluan mandi dan rumah tangga Rp.100 ribu (Rp 200,000)
Saya: Listrik dan PAM sudah include di kos. Dan karena pekerjaan saya, biasanya saya cuma pakai air mandi pagi/malam, jadi tidak banyak (Rp 0)

Total: Buruh Rp 1,250,000; Saya Rp 750,000

2. Transportasi
- Buruh: Dua kali naik angkutan umum (PP), hitungannya 2 x Rp. 3.000 PP = Rp. 12.000. TransJakarta (PP) = Rp7.000. (Rp 570,000)
- Saya: Karena pekerjaan tidak tentu, saya menganggarkan 20,000 per hari untuk angkutan umum, kalau ada lebih bahkan bisa pakai taxi. (Rp 500,000)

3. Makanan dan Minuman
Buruh: Makan pagi (nasi uduk telor) Rp. 5.000 x 30 hari = Rp. 150 ribu. Makan siang (nasi soto) Rp. 9.000 x 30 hari = Rp. 270 ribu. Makan malam (nasi goreng) Rp. 8.000 x 30 hari = Rp. 240 ribu. Buah-buahan Rp. 100 ribu. (Rp. 560,000)
Saya: Total budget makan per hari Rp 15,000. Buah-buahan kalau pas ada uang lebih. (Rp 450,000)

Buruh: Minuman : 1x minum teh Rp. 2.000 x 30 hari = Rp. 60.000,-; 1x minum kopi Rp. 2.500 x 30 hari = Rp. 75 ribu; Aqua Rp. 3.000 x 30 hari = Rp. 90 ribu; Susu Rp. 2.500 x 30 hari = Rp. 75 ribu, (Rp 300,000)
Saya: Aqua galon Rp 11,000 per minggu, Teh celup sekotak (isi 25) Rp 4,000, budget kopi sachet Rp 2000 per minggu. Susu kalau ada uang lebih (Rp 56,000)

Buruh: tidak pake gas (Rp 0)
Saya: pake gas kaleng kecil (Rp 14,000)

Total: Buruh Rp 860,000; Saya Rp 520,000

4. Sandang
Buruh: pakaian, celana, kaos, sepatu, kemeja, handuk, perlengkapan badan, jam tangan, jam dinding, tas kerja dan lainnya (Rp. 300,000)
Saya: Belanja baju setahun Rp 360,000 (Rp 30,000 per bulan)

5. Pendidikan
Buruh: Beli koran atau tabloid (Rp 15,000)
Saya: Baca di hape, dengan pulsa internet (Rp 25,000)

6. Kesehatan
Buruh: Sabun, pasta gigi, bedak, deodorant, sampo, suplemen obat, potong rambut dan lainnya (Rp 150,000)
Saya: Rp 50,000 

7. Rekreasi dan tabungan
Buruh: (3 persen dari total) Rp. 100.000,-
Saya: Tidak ada jumlah pasti (Rp 0)

Total buruh: Rp 3,170,000
Total saya: Rp 1,875,000

FYI, gaji saya saat itu Rp 2,300,000; jadi saya masih ada surplus sekitar 400,000an. 

Serius, agak heran aja sih klo di daerah pabrik yang penduduknya mayoritas punya upah minimum biaya perumahan lebih mahal daripada di daerah kampus menterengnya Jakarta. Saya di Trisakti bow, kanan-kiri mall. Yang setara/lebih mahal dari perumahan buruh ini biasanya yang kos-an lebih bergengsi atau apartemen sekalian. Bea makan/minum, sandang dan kesehatannya juga ga masuk akal. Rp 150,000 itu biaya sabun etc plus deterjen dan sabun cuci piring untuk saya sekeluarga (ber 8) di Bali. Tiap hari bisa minum teh, kopi, dan susu itu fantastis banget buat saya, karena banyak banget masyarakat menengah Indonesia yang cukup hepi bisa ngopi sekali sehari. Beli buah potong Rp 1,000 perbiji perhari jatuhnya cuma 30,000; dan itu juga luxury untuk kebanyakan kelas menengah Indonesia. Dan budget baju Rp 300,000 perbulan? Buset deh, ini setara dengan budget baju temen saya yang kerja di resort mewah di Bali yang memang kudu cakep menawan. 

Di Amerika juga ada yang kaya gini, beberapa penerima bantuan nutrisi pemerintah (alias food stamp) bilang dana yang dikasi ga cukup buat mereka makan layak. Pas ditanya mereka belanja apa aja, ternyata mereka belanja makanan instan yang tinggal masak (sosis, nuget etc) yang bermerk dan salad kantongan etc. Ini jatuhnya jauh lebih mahal daripada beli n masak dari bahan mentah. Jadi untuk orang-orang ini masalahnya bukan uangnya yang ga cukup, tapi merekanya yang dodol n ga bisa belanja. Saya jadi mikir apa ini juga masalah para buruh ini, karena mereka yang ga ngerti nyari harga yang semurah-murahnya. Rasanya miris aja, saya yang berinvestasi di pendidikan harus morat-marit belanja yang semurah-murahnya biar bisa hidup (boro-boro nabung), sementara buruh-buruh ini bisa tinggal demo dan minta naik gaji. Yang lebih miris lagi adalah didalam biaya-biaya ini yang tak tertulis adalah biaya rokok. Kalau 1 pak rokok Rp 15,000 dan mereka bisa habis 1 pak sehari, total sebulan mereka habis Rp 450,000. Belum lagi miras etc. Ga adil aja rasanya kita konsumen yang harus nanggung bea "foya-foya" mereka. 

Di Indonesia, segala hal bikin harga naik, kita tuh ga stabil banget. Hari Raya, harga-harga naik. Akhir Tahun, harga-harga naik. Harga BBM "konon akan" naik, harga-harga naik. Harga BBM beneran naik, harga tambah naik. Kalau si buruh ini beneran dikasi sekian juta per bulan, saya yakin banget harga-harga di sekitar mereka juga naik, jadi akhirnya yang untung ya pedagang/pemain besar dan mereka tetep buntung. Kok ya gampang banget dibodohi ya...? 

Saya bukannya anti kesejahteraan wong cilik, banyak kok buruh yang memang patut dibela, yang kerjanya di kondisi tidak layak dan gajinya sedemikian kecil hingga mereka bisa dibilang kerja rodi disitu. Buruh-buruh inilah yang patut ditolong dan diselamatkan. Tapi orang-orang yang nge-demo dan bikin macet jalan, yang mengancam dan/atau melakukan tindak kekerasan terhadap orang lain yang dianggap menghambat atau tidak seideologi dengan mereka, yang dengan pedenya menuntut kesejahteraan sambil membawa hape mahal dan menghisap rokok tanpa henti, sori-sori aja ya. Kalau saya bisa hidup nyaman dengan gaji segitu, harusnya anda-anda juga bisa. 



UPDATE: omigod mereka punya Kawasaki Ninja 250 cc. OMIGOD!!! Saya ingat jaman dulu mantan pacar saya susah payah biar bisa beli CBR nya, padahal keluarga dia cukup mampu. Dan orang-orang ini punya Kawasaki Ninja 250 cc. OMIGOD!!!! Buat yang mau protes dan bilang mereka tidak "mencerminkan" atau tidak merepresentasikan buruh, tolong tutup mulut dan segera seret orang-orang ini keluar dari grup anda sebelum mereka makin bikin masyarakat luas tambah tidak menyukai buruh secara umum. Sulit bagi kami kaum menengah untuk bersimpati dengan anda para "wong cilik" saat kami harus mpot-mpotan bayar cicilan motor bebek/motor matik selama minimal dua tahun dengan porsi yang cukup besar dari gaji kami dan anda sanggup mencicil moge. Kalau anda mau simpati saya, tolong beri saya alasany yang bagus. OMIGOD!!!!