Monday, July 3, 2017

Sendiri Itu Indah

~4 minggu lagi sebelum "Dear, Mantan Tersayang" terbit di Gramedia~

"Mbaaaak... Serius lagi dong..." tulis seseorang di inbox saya, menanggapi foto saya yang (ceritanya) merasa terpenjara saat disuruh serius. Duh... Nggak, nggaaaak. Paling nggak nggak dulu sekarang.

Waktu pisah sama (mantan) suami saya, saya sempat langsung rebound sama cowok lain. Keduanya orang baik-baik, ganteng-ganteng pula, tapi tetap di hati merasa ada yang kurang. Pas sudahan langsung rasa di hati lega banget, plong ga jelas. Padahal mereka masuk banget kriteria saya, dan kalau saya ketemu mereka sebelum cerita telenovela saya terjadi, pasti saya sudah sibuk merancang happily ever after saya dengan mereka. Tapi itu saya yang dulu. Saya yang sekarang beda.

Saya yang dulu sangat family-oriented. Tujuan hidup saya adalah punya keluarga yang bahagia dan merawat keluarga saya semaksimal mungkin. Bikin kue buat anak-anak, menyiapkan kopi untuk suami, kalau bisa kerja cukup dari rumah atau part time saja biar bisa fokus ke keluarga. Kalau anaknya belum ada, paling nggak suami/pacar harus terjamin kebahagiaannya. Itu saja sudah cukup untuk saya. Tapi ini saya yang dulu ya.

Terdampar di negeri orang dan cerita telenovela saya membuat mata saya terbuka: ada dunia yang lebih luas daripada sekedar "Happily Ever After". Saya yang harus fokus bertahan hidup disini banyak belajar tentang tantangan, baik secara karir (penulis, agen finansial, kerja kantoran), tugas sehari-hari, maupun secara personal. Yang tiap kali tantangan ini terlewati, mulai dari yang besar seperti lulus ujian agen asuransi jiwa, sampai sekedar menemukan diskon Starbux, membuat saya bangga dan berkata, "Yeah! I did it!!"

Mungkin ini karena saya yang sekarang merasa nyaman dengan diri saya. Saya yang dulu butuh banget afirmasi, butuh dipuji dan butuh melihat orang merasa tertolong dengan kehadiran saya. "Aduh, makasih ya sayang sudah cuci piring," "Eh masakanmu enak lho," "Ih seru ya acaranya, kamu memang pintar!" Ada udang di balik bakwan sebenarnya, bahwa kalau saya berhasil membuat pasangan saya bahagia, dia nggak akan ninggalin saya. Salah besar ya saudara saudari.

Seperti yang saya bahas di buku saya, kadang cinta saja nggak cukup. Pasangan kita punya perasaan sendiri, keinginan sendiri, kebutuhan sendiri. Ibaratnya kita bisa bikinin es buah paling segar manis nikmat sedunia, kalau dia inginnya ngopi ya gimana dong. Ini juga kenapa sebaiknya kita berusaha semaksimal mungkin dalam hubungan, nggak cuma memikirkan apa mau kita tapi juga memikirkan apa mau pasangan. Percaya deh, kata-kata ratapan "Kalau saja aku..." saat berpisah itu akan jauh berkurang frekuensinya kalau kita sudah berusaha semaksimal mungkin. Nrimo jadi lebih gampang.

Setelah saya pisah dan memulai proses cerai dengan suami ada perasaan "Loe liat ya! Loe pikir gue ga bisa hidup tanpa loe!!" Awalnya memberanikan diri kencan lagi, melakukan hal-hal menyenangkan sendiri, ini semua sekedar "Biar dia lihat!!" Tapi saat melakukannya menyenangkan juga lho. Jalan-jalan sendiri ke Seattle, naik kereta 36 jam, bergabung dengan berbagai grup dan komunitas disini, pokoknya suka-suka sayalah. Dengan cepat yang dari awal dilakukan karena niat nggak mau kalah berganti dengan niat ingin bahagia sendiri.

Waktu saya tutup buku dengan para mas-mas ganteng ini pun rasanya plong. Ada kepuasan tersendiri nggak perlu lapor mau iseng nonton opera sepulang kerja (bah gayanyaaa), atau nggak merasa bersalah saat tebar-tebar pesona di acara kumpul bareng. Mau tidur seharian saat weekend yuk mari, atau saat berdansa swing tahun 1920an semalam suntuk. Salah satu mas ini tertawa saat beberapa minggu yang lalu saya bilang saya tidak ingin lagi jadi "Ibu Budi" atau "Ibu Khong Guan". "Gue udah tahu dari awal kok," katanya, "elu butuh lebih dari sekedar rumah mungil dan keluarga ideal." Dan dia benar.

Untuk pertama kalinya saya mengerti bahwa saya punya pilihan. Saya berhak, boleh, bisa memilih untuk bersama orang yang membuat saya nyaman. Saya nggak perlu sekedar pacar atau suami untuk membuat hidup saya komplit, nggak perlu terburu-buru meraih standar "happily ever after" (keluarga bahagia, rumah sendiri, karir stabil) untuk membuat saya 'sukses' sebagai wanita. Saya bahagia dengan diri saya sendiri, me myself and I, dan itu saja sudah cukup.

Jujur, kadang rasanya nggak cukup. Pas lagi masak yang resepnya untuk dua orang, pas lagi drama ga jelas (baca: lagi dapet) dan butuh dipeluk, pas lagi keluar ganjennya sementara nggak ada acara yang bisa didatangi, saat-saat begini yang jadi sibuk mengeluh kenapa nggak punya pacar. "Elu bukan nggak bisa," kata best pren saya, "elunya yang nggak mau." Daaaan...dia benar.

Pasangan yang saling melengkapi itu seperti nasi goreng pete atau donat celup coklat. Nasi goreng atau pete, dan juga donat atau coklat, dimakan begitu saja sudah sedap, tapi pas digabung jadi luar biasa. Saya mencari hubungan yang seperti ini, yang kepribadian saya dan pasangan tetap menonjol walau bersatu, dan gabungan kepribadian kita mampu membuat kita berdua melangkah lebih jauh. Saya mencari seseorang yang bisa menerima saya secara keseluruhan, bukan hanya bagian/sifat yang dirasa cocok. Banyak orang yang "manis", "perhatian", "lucu", "seru", "pengertian" diluar sana, tapi hanya ada satu Ary Yogeswary.

Susah? Banget. Lebih gampang tutup mulut dan tersenyum manis dan berkata, "Iya sayang". Belum lagi parno "Apa gue segitu kurangnya sampe orang ga mau ngebela-belain buat gue? Apa gue standarnya ketinggian?" Padahal it's not me, it's them; bukan saya, tapi mereka. Saya belum ketemu yang cocok saja. Saya tahu nilai saya dan apa yang bisa saya berikan dalam sebuah hubungan, dan saya mencari seseorang yang mampu memberikan yang setara. Dan kalau nggak ketemu nggak apa-apa, saya bahagia kok dengan diri saya sendiri. Ini yang paling penting.

Jadi apakah saya punya pacar? Iya, pacar saya saya sendiri. Apakah saya sering kencan? Iya, kencan dengan diri saya sendiri. Apakah saya sedang menjalin hubungan? Iya, dengan diri saya sendiri. Saya ajak makan, saya belikan baju, saya bawa nonton teater dan berdansa, dan yang paling penting, saya sayangi sepenuh hati. Sebelum anda tuduh saya narsis, orang yang terlihat bahagia dan nyaman dengan dirinya sendiri itu sangat menarik lho. Love yourself, you deserve it. Cintai diri anda sendiri, anda berhak kok.

No comments:

Post a Comment