Monday, June 19, 2017

Orang Orang Yang Terbunuh

Seorang remaja Muslim dibunuh Minggu subuh di Virginia, Amerika Serikat. Anak remaja ini baru pulang sahur bersama teman-temannya saat seorang pria tiba-tiba menyerang mereka. 4 orang teman-temannya berhasil melarikan diri, namun gadis ini tertinggal. Jenazahnya ditemukan pagi harinya, dan seorang pria berusia 22 tahun telah ditangkap dengan tuduhan pembunuhan.

Sebelum protes bahwa tidak ada beritanya, ada baiknya melihat screen shot yang saya pasang dibawah. Ada kok beritanya, bersanding dengan berita seorang ibu hamil berkulit hitam ditembak mati polisi karena menghunus pisau (atau gunting) terhadap polisi. Ironisnya, polisi ada di apartemennya karena ia yang memanggil mereka untuk melaporkan pencurian. Ini bukan pertama kalinya orang kulit hitam ditembak mati, sekali waktu bahkan seorang wanita berumur 19 tahun ditembak oleh seorang pemilik rumah setelah wanita ini mengetuk pintu rumah orang ini untuk meminta tolong setelah mengalami kecelakaan mobil.

Apa moral dari cerita ini? Bangsa Barat memang sialan gitu? Orang minoritas selalu ditindas? Nggak juga. Moral dari cerita ini adalah banyak orang 'sakit' di dunia ini. Ada orang yang dengan teganya menabrakkan mobil ke orang-orang yang baru pulang dari Masjid di London Senin subuh ini. Tapi tanggal 3 Juni yang lalu ada orang-orang yang menabrakkan mobil ke pejalan kaki di jembatan London yang terkenal, konon anggota ISIS. Tanggal 18 Mei, ada orang stres yang menabrakkan mobilnya ke pejalan kaki di Times Square New York yang super sibuk.

Kalau membicarakan bom, ada bom di Manchester, dan tiap Natal kita di Indonesia juga kayanya selalu ada ancaman bom di Gereja. Tapi Tamil Eelam di Sri Lanka juga nge-bom kanan kiri. Tahun 1996 ada bom di Manchester juga, tapi yang ini oleh IRA (militan Irlandia). Oktober 2016 3 orang pria di Kansas ditangkap karena ingin mengebom Masjid. Bicara stabbing atau penusukan, tahun 2016 ada orang yang sibuk menyerang orang di restoran dengan golok di Ohio, konon menyebut nama Allah. 31 May tahun ini ada orang yang menusuk orang-orang yang mencoba menghentikan tingkahnya yang menyerang secara verbal dua remaja yang salah satunya Muslim. Dan di tahun 2012, seorang pria di Cina menyerang 22 anak-anak di sebuah sekolah. Di tahun 2016 seorang pria Perancis ditembak mati di Bali setelah mengamuk dan membunuh seorang polisi.

Masih perlu bukti kalau begitu banyak orang 'sakit' di dunia ini?

Kalau kita fokus ke alasan, semua alasan itu bisa dijustifikasi/dibenarkan kok. Sebagaimana seorang pengacara yang sanggup berkelit dan membuat alasan agar tindakan kliennya bisa dibenarkan, begitu pula kita dengan sekelilling kita. "Biar aja, toh Muslim kebiasaan nge-bom kiri kanan", "Syukurin, Cina reseh sih," "Makanya, siapa suruh jadi kafir?". Yang sampai nggak ada hubungannya pun bisa dihubungkan. Berita orang terbunuh di pengeboman saat konser Ariana Grande, reaksinya "Trus kenapa? Begitu banyak orang Islam yang terbunuh di Palestina!" Berita orang Islam dibunuhi di Afrika, reaksinya "Trus kenapa? Begitu banyak yang sudah mereka bantai di seluruh dunia!" Terus aja sih kalau mau cari alasan.

Tapi kalau kita bisa mundur selangkah, kalau kita bisa bijak sejenak, coba deh kita berpikir. Coba lihat segala aksi kekerasan ini dari, yah, aksi tersebut, bukan alasannya. Orang normal ya, orang yang (syukurlah) masih punya nurani, biasanya lihat darah mengucur saja sudah mual dan eneg dan panik. Lihat orang sedih atau menangis, rasanya hati ikut merana. Mencubit anak atau menampar orang rasanya sudah berdosa sekali. Ini kok bisa, bukan hanya aktif melukai namun sampai menghilangkan nyawa orang. Di cerita Harry Potter, konon untuk membuat Horcrux agar hidup abadi caranya adalah dengan membunuh orang, karena membunuh orang adalah tindakan yang demikian mengerikan sehingga jiwa kita terbelah. Saya percaya ini juga yang terjadi di dunia nyata.

Nggak harus ekstrim membunuh lho, pikiran buruk dan kata-kata yang menyerang saja sudah cukup untuk mengikis kemanusiaan kita. Saya ingat dulu pertama kali saya mengenal dan mengucap kata 'F*ck'. Rasanya antara berasa Bad Girl banget, keren dan cool habis, dan anak nggak bener banget, yang akan terjerumus kedalam sex bebas narkoba dan dunia hitam. Dari dulu imajinasi saya memang suka ekstrim nggak jelas. Dua dekade (lebih sedikit) berikutnya, saya mengobrol dengan bos saya kadang dengan santwi terselip kata ajaib itu. Sudah biasa. Makanya saya nggak ngerti kalau ada orang yang tersinggung kalau saya pakai kata "F*ck", karena menurut saya biasa saja.

Sekarang, coba ganti kata 'F*ck' ini dengan makian: "Dasar Cina" "Dasar Kafir" "Dasar Onta", dan seterusnya. Ganti kata 'F'*ck' ini dengan hinaan, "Syukurin" "Rasain" "Semoga (isi yang buruk)". Kalau yang rajin mantengin kolom komentar di fesbuk atau berita online pasti sering melihat yang seperti ini. Atau yang "Wajar diperkosa, lihat bajunya", "Nggak bener sih, makanya mati," dan sejuta penghakiman lainnya. Kita pikir ini biasa, padahal dengan tiap penghakiman, dengan tiap hinaan, dengan tiap ancaman kekerasan dan kearoganan yang kita ucapkan, kemanusiaan kita semakin terkikis.

Nggak kurang dari J. K. Rowling sendiri yang mengecam sentimen anti-Muslim yang riuh dikobarkan media di UK. Jangan ge-er dulu yang Muslim, ini bukan semata karena benci Muslim, tapi karena laku dijual. Sama halnya media yang lebih tertarik ngebahas twitnya Donald Trump daripada detail program kerjanya. Di Indonesia biasanya laku soal Kristenisasi dan sentimen anti-Cina (plus PKI). Sebagaimana yang disadari penulis Harry Potter ini, sentimen anti- apapun sangat berbahaya. Kita nggak bisa mengharapkan dunia yang damai dan aman, kalau kitanya sendiri penuh kenegatifan dan berbahaya.

Begitu banyak ibu-ibu yang ngeshare di medsos bagaimana anak bisa sholeh/beriman, bisa sopan dan menghargai orang lain, pokoknya jadi anak ideal; sementara kita yang dewasa (baca: orang tua) masih jauh dari ideal. Kita yang penuh dengan amarah, yang percaya orang lain ingin melukai kita atau pantas dilukai, kita yang gencar mengkampanyekan "Asal waspada!!" disertai tuduhan tak berdasar dan menjual ketakutan, apa yang sebenarnya kita kontribusikan ke dunia?

Kita nggak harus setuju akan sesuatu untuk tidak bereaksi negatif. Menurut anda kepercayaan anda yang paling benar, ya udah sih, nggak perlu menyerang dan menjelekkan yang kepercayaannya berbeda. Ibaratnya saya yang percaya Harrison Ford pria terseksi di dunia, nggak usah tiap kali ada yang bilang mereka suka aktor lain selain bapak ini saya langsung serang dan saya jelek-jelekkan aktor tersebut, atau saya hina orang tersebut karena saya rasa seleranya rendah.

Bahkan untuk hal-hal yang anda tahu buruk pun, ada banyak cara untuk menyikapi dengan bijak tanpa kehilangan kemanusiaan anda. Anda bisa memisahkan diri dari orang yang terkenal pemabuk karena anda khawatir dia bisa berbahaya saat mabuk, misalnya; tapi nggak usah yang koar-koar "Idih si A itu kan pemabuk, amit-amit banget deh, mau jadi apa kedepannya, palingan bakal mati di selokan itu orang". Jangan membunuh atau melukai seseorang, baik secara fisik maupun mental, karena dengan demikian kita membunuh dan melukai diri kita sendiri.

Seberapa pentingkah ini? Yah, lihat sekeliling anda. Kita hidup di dunia penuh kecurigaan dan kebencian, di era yang berita buruk dan ketakutan dijual karena itu yang laku dijual, di masa dimana kita pun berlomba membaca berita tersensasional seperti memangsa bakso penuh mecin. Tidakkah anda letih? Tidakkah anda merasa terkucil dan sendiri? Apa yang anda lihat di wajah orang lain, harapan atau kecurigaan?

Sudah cukup sekian banyak raga tak bernyawa terserak. Sudah cukup sekian banyak pikiran dan perasaan teraniaya, yang kemudian membuka siklus baru dimana kita saling membunuh dan menyakiti. Sudah cukup. Kekerasan, apapun bentuk dan alasannya, tidak bisa dibiarkan. Pertama kita berpikir, lalu kita berkata, lalu kita berbuat. Sudah cukup. Jangan lagi kita membuat diri kita kehilangan kemanusiaan kita, jangan lagi kita menghancurkan kemanusiaan orang lain. Saya merindukan teduh damainya surga di muka bumi ini, di dalam hidup saya. Kalau anda?

No comments:

Post a Comment