Kabar burung terakhir dari Facebook: karena seorang siswi SMA tertular HIV, 40 siswa pria di SMA yang sama tertular HIV juga. Ouch.
Sebelum anda memanggil siswi ini dengan beragam sebutan kejam bin kreatif, tarik nafas dan ingat: ini kabar dari Facebook lho. Facebook yang sama yang memberikan informasi kreatif tentang "Father make daughter suicide!!" (padahal isinya cuma virus) dan sebagainya, sangat tidak bisa dipercaya. Namun penyebaran HIV itu memang fakta, bukan fiksi. Sudah saatnya kita sadar dan mengakui hal itu.
Menurut anda angka 40 itu kecil? Tidak juga lho. Mari berhitung bersama: bila ada 1 pria HIV melakukan hubungan seks tanpa pengaman dengan 5 wanita, lalu 5 wanita tersebut masing-masing berhubungan dengan 5 pria lainnya, dan tiap pria tersebut berhubungan lagi dengan 5 wanita lainnya, itu saja berarti sudah ada 125 orang (yup benar, 125 orang!!) yang tertular HIV. Ini baru hubungan seks tidak aman. Coba ganti pria HIV tersebut dengan sebatang jarum narkoba/tato, hasilnya juga kurang lebih sebanyak itu.
Tunggu dulu, jangan terburu-buru menyalahkan wanita. Seringkali wanita hanya jadi korban dari perilaku beringas pasangannya yang hobi jajan kanan-kiri. Itulah yang sedemikian mencemaskannya dari HIV: orang-orang memilih bungkam karena adanya stigma negatif (terutama terhadap wanita) sehingga penyebarannya tidak terdeteksi. Beberapa teman saya berpendapat mereka lebih baik tidak tahu, daripada tahu dan dicap jelek oleh masyarakat. HIV/AIDS telah menjadi "lepra" masa kini, ditakuti dan dicap sebagai "Hukuman Tuhan". Tapi masyarakat sekarang sudah tahu lepra itu bukan "hukuman Tuhan", jadi sebenarnya kita mampu mengubah stigma tersebut.
HIV/AIDS bukan cuma milik pemakai narkoba/pencinta seks bebas/pengguna tato. Tenaga/relawan medis pun rentan terpapar HIV. Ada seorang penerima donor ginjal yang mendapat HIV dari donornya. Apapun yang membuat anda memasukkan/kemasukan cairan (terutama darah dan mani) ke tubuh anda (bisa jadi dari luka yang terbuka, tidak harus selalu melalui jarum suntik/hubungan seks), akan membuat anda berisiko tertular HIV.
Sebenarnya sama saja dengan tetanus (atau septicemia/keracunan lewat darah lainnya), tapi saya tidak melihat orang tetanus/septicemia divonis "hukuman Tuhan". Begitu pula untuk masalah drug-dependent nya, diabetes dan kanker juga drug-dependent namun tidak dianggap sebagai "hukuman Tuhan". Kanker serviks dulu dianggap spesifik untuk wanita yang "nakal", namun dalam bukunya (What The Dog Saw) Malcolm Gladwell mengemukakan fakta bahwa kanker serviks sebenarnya adalah imbas dari gaya hidup masa kini yang memiliki sedikit anak. Kita bisa mengubah stigma tersebut.
Apa yang bisa anda lakukan? Yang paling utama adalah mengakui (bila) anda memiliki faktor risiko, dan melakukan VCT (tes HIV sukarela). Tes ini gratis dan dapat diperoleh di RSUD manapun. Bila anda tidak tahu dimana, minta rujukan ke dokter kulit&kelamin di RSUD anda atau ke BKKBN terdekat. Oh ya, tes ini juga RAHASIA, jadi jangan khawatir :). Bila anda dinyatakan negatif atau memang tidak memiliki faktor risiko, maka anda bisa aktif mendorong orang yang anda kenal (dan beresiko) untuk melakukan VCT. Seperti halnya gerakan "go green", walau tampak kecil namun kepedulian anda akan berdampak besar karena saat sesi VCT akan dijelaskan dan diberi pengertian mendalam tentang HIV/AIDS, sehingga peserta VCT dapat menjaga dirinya lebih baik setelahnya.
Kenapa anda harus repot-repot ikut VCT dan/atau mendorong kenalan anda untuk ikut VCT? Karena semakin banyak orang yang mau mengakui faktor risiko HIV, maka makin banyak orang yang sadar bahwa HIV itu tidak sebegitu menakutkannya, dan semakin berkurang pula stigma terhadap HIV tersebut. Menurut pengalaman saya, mengakui saya memiliki faktor risiko ini yang paling berat, konseling dan tesnya sih baik-baik saja. Dan amat mungkin teman/keluarga saya akan menjatuhkan cap jelek terhadap saya berkat tulisan saya ini. Tapi saya yakin kepedulian dan keberanian kita mengakui faktor risiko ini akan membuat perubahan, dan dengan pesatnya penularan HIV sekarang ini di Indonesia kita harus mampu mengubah stigma tersebut untuk menekan penularan terselubung. Bila anda tahu maka anda akan bisa menjaga diri, baik hasilnya negatif maupun positif. Jadi tunggu apa lagi? Hubungi dokter anda / BKKBN terdekat secepatnya. Anda bisa membuat perubahan.
A little bit of this, a little bit of that, and all the things the cat sees along her way
AdSense Page Ads
Showing posts with label medical. Show all posts
Showing posts with label medical. Show all posts
Monday, June 20, 2011
Friday, May 27, 2011
Dan Hasil Tes Saya Adalah....
Adakah diantara para pembaca budiman yang sudah melakukan tes HIV? Eits, tunggu dulu. Sebelum anda menutup jendela blog dengan emosi sambil ngomel "Saya bukan gay atau pemakai! Ga pernah seks bebas juga!", mungkin ada baiknya ngeh kalau HIV bisa kena ke siapa saja lho, termasuk tenaga medis dan orang yang "bersih". Tapi tenang, tesnya gampang kok :)

Waktu saya membulatkan hati untuk mengikuti VCT (konseling dan tes HIV sukarela) rasanya berat banget. Padahal wajar banget saya tes, karena saya pun pernah di bidang medis dan dengan demikian memiliki resiko terkena HIV tersebut. Bolak-balik saya berpikir, lebih baik pura-pura nggak tahu atau mending nekat cari tahu. Lalu saya memutuskan, saya tidak mau nanti keluarga saya tahu belakangan dari dokter atau surat kematian saya (lebay.com), jadilah saya mencari konseling.
Saat saya mencari konseling pun saya merahasiakannya benar-benar. Mulai dari e-mail yang saya buat khusus, nomor telepon yang saya beli khusus, sampai mengganti nama saya. Entah kenapa saya parno sekali dan tidak bisa lepas dari pikiran "Orang HIV/AIDS itu dianggap 'kotor'". Karena satu dan lain hal, saya terus tidak bisa melakukan konseling face-to-face, cuma bisa lewat telepon dan e-mail. Ini ga berguna sama sekali, pikir saya. Namun dengan berkat Tuhan saya akhirnya bertemu dengan konselor yang tepat. Yipeee!

Konselor saya menjelaskan bahwa tertular HIV dan terkena AIDS bukanlah akhir segalanya. Beliau menjelaskan bahwa AIDS memang penyakit yang mematikan dan membuat kita tergantung pada obat, namun bukankah diabetes atau kanker juga hal yang sama? Saya terdiam. It all makes sense. Saya pribadi pun lebih takut memiliki anak di luar nikah daripada AIDS, karena tanggung jawabnya baik ke Tuhan maupun keluarga akan lebih berat. Konselor saya lalu menjelaskan tentang kehidupan setelah didiagnosa tertular HIV, yang sebenarnya sama saja dengan kehidupan normal namun lumayan drug dependent, jadi ga ada bedanya dengan diabetes atau kanker.
Konseling normal biasanya berlangsung beberapa kali pertemuan, sampai klien merasa benar-benar siap. Terlepas dari fakta mengenai HIV/AIDS, orang tetap menganggap HIV/AIDS sebagai musibah, 'kotor', 'hukuman Tuhan', dan stigma ini yang sebenarnya lebih memberatkan dari penyakit itu sendiri. Karena saya sudah mengerti semua yang dipaparkan konselor saya, dan saya berpikir tidak ada bedanya saya tes sekarang atau 3 tahun lagi, jadilah saya dites hari itu juga. Saya siap, batin saya. (walaupun sempat terlintas berbagai rencana absurd/fantastis untuk menghilangkan jejak penyakit saya, termasuk kabur ke pedalaman pulau terpencil saat penyakit saya sudah parah agar tidak diketahui keluarga saya. Yeah, saya terlalu banyak baca buku LOL)
Keesokan paginya saya duduk manis di depan konselor saya, sementara jantung saya rasanya ingin melompat keluar dari dada saya. Beliau tersenyum dan membuka kertas tersebut. Hasilnya adalah..... positif.

Yup, saya positif tidak terkena HIV alias hasil tes saya adalah negatif ;). Maaf agak drama hehehe. Namun saya tetap diminta menjalani tes yang kedua 3 bulan kemudian, untuk meyakinkan bahwa saya benar-benar bersih.
3 bulan kemudian konselor saya mengucapkan selamat tinggal pada saya, karena hasil tes saya yang kedua pun negatif sehingga saya sudah dianggap "bersih". Saya nyengir bodoh dan berkata pada beliau, "Semoga saya akan bertemu dengan ibu lagi, namun tidak di ruang konsultasi ini." I've learn my lesson.
Kenapa saya repot-repot menceritakan ini pada anda? Karena saya ingin lebih banyak orang yang tahu bahwa tes HIV itu luar biasa mudah. Ini penting karena anda sangat mungkin tertular HIV. Dengan tingginya tingkat hubungan seksual dewasa ini (baik dibawah umur maupun dewasa,pacar/pasangan resmi atau HTS atau TTM atau dengan pekerja seks laki-laki dan perempuan); serta rendahnya tingkat kesetiaan (terimakasih untuk sinetron dan lagu yang tidak mendidik), risiko seseorang terkena HIV menurut saya lumayan besar. Itu baru dari soal hubungan, belum lagi dari pemakaian narkoba, dari transfusi darah/organ, dari ibu melahirkan, dari berbagai faktor sebenarnya.

Paling aman tentunya bersikap setia pada pasangan, dan jujur pada diri masing-masing, plus melakukan tindakan pengamanan yang diperlukan. Bila merasa pernah memiliki faktor risiko (relawan untuk rehabilitasi narkoba, tenaga medis di pusat HIV, etc - ga cuma yang jelek jelek aja lho hehehe),lakukan tes HIV tersebut bersama-sama, dan ulangi lagi 3 bulan kemudian, lalu bila keduanya negatif jauhi faktor risiko tersebut. Ini bukan hanya demi anda sendiri, namun juga bagi orang lain. Bila anda tidak sadar terkena HIV, pasangan adna atau orang lain bisa tertular juga lho. FYI, ada kasus dimana seorang pasien tertular HIV dari organ yang didonorkan padanya. Ternyata donor organnya waktu dites memang HIV negatif, namun 10 bulan sebelum mendonorkan ia sempat melakukan kegiatan risiko tinggi dan tidak mengetes ulang. Menyeramkan sekali bukan?
Buat pembaca Denpasar yang ingin melakukan VCT, bisa menghubungi klinik Merpati di RSUD Wangaya, ataupun di RSUD Sanglah. Di tiap RSUD biasanya ada klinik VCT ini, atau coba kontak ke kantor BKKBN terdekat. Yang saya rasakan, kerahasiaan benar-benar terjamin dan kita memiliki hak untuk mundur dari terapi (bila anda merasa tidak cocok dengan konselor anda). Yang penting sih menurut saya kejujuran dari dalam diri kita sendiri, untuk menerima bilamana kita memang punya faktor risiko. Karena dalam kasus HIV/AIDS yang serba tertutup, penyebaran diam-diam ini jauh lebih membahayakan. Jadi kuatkan diri anda, dan selamat mencoba :)
Campaign poster by http://nicoledhughes.blogspot.com/
2015 awareness poster from Flickr.com
Aldoxtina campaign from adland.tv

Waktu saya membulatkan hati untuk mengikuti VCT (konseling dan tes HIV sukarela) rasanya berat banget. Padahal wajar banget saya tes, karena saya pun pernah di bidang medis dan dengan demikian memiliki resiko terkena HIV tersebut. Bolak-balik saya berpikir, lebih baik pura-pura nggak tahu atau mending nekat cari tahu. Lalu saya memutuskan, saya tidak mau nanti keluarga saya tahu belakangan dari dokter atau surat kematian saya (lebay.com), jadilah saya mencari konseling.
Saat saya mencari konseling pun saya merahasiakannya benar-benar. Mulai dari e-mail yang saya buat khusus, nomor telepon yang saya beli khusus, sampai mengganti nama saya. Entah kenapa saya parno sekali dan tidak bisa lepas dari pikiran "Orang HIV/AIDS itu dianggap 'kotor'". Karena satu dan lain hal, saya terus tidak bisa melakukan konseling face-to-face, cuma bisa lewat telepon dan e-mail. Ini ga berguna sama sekali, pikir saya. Namun dengan berkat Tuhan saya akhirnya bertemu dengan konselor yang tepat. Yipeee!

Konselor saya menjelaskan bahwa tertular HIV dan terkena AIDS bukanlah akhir segalanya. Beliau menjelaskan bahwa AIDS memang penyakit yang mematikan dan membuat kita tergantung pada obat, namun bukankah diabetes atau kanker juga hal yang sama? Saya terdiam. It all makes sense. Saya pribadi pun lebih takut memiliki anak di luar nikah daripada AIDS, karena tanggung jawabnya baik ke Tuhan maupun keluarga akan lebih berat. Konselor saya lalu menjelaskan tentang kehidupan setelah didiagnosa tertular HIV, yang sebenarnya sama saja dengan kehidupan normal namun lumayan drug dependent, jadi ga ada bedanya dengan diabetes atau kanker.
Konseling normal biasanya berlangsung beberapa kali pertemuan, sampai klien merasa benar-benar siap. Terlepas dari fakta mengenai HIV/AIDS, orang tetap menganggap HIV/AIDS sebagai musibah, 'kotor', 'hukuman Tuhan', dan stigma ini yang sebenarnya lebih memberatkan dari penyakit itu sendiri. Karena saya sudah mengerti semua yang dipaparkan konselor saya, dan saya berpikir tidak ada bedanya saya tes sekarang atau 3 tahun lagi, jadilah saya dites hari itu juga. Saya siap, batin saya. (walaupun sempat terlintas berbagai rencana absurd/fantastis untuk menghilangkan jejak penyakit saya, termasuk kabur ke pedalaman pulau terpencil saat penyakit saya sudah parah agar tidak diketahui keluarga saya. Yeah, saya terlalu banyak baca buku LOL)
Keesokan paginya saya duduk manis di depan konselor saya, sementara jantung saya rasanya ingin melompat keluar dari dada saya. Beliau tersenyum dan membuka kertas tersebut. Hasilnya adalah..... positif.

Yup, saya positif tidak terkena HIV alias hasil tes saya adalah negatif ;). Maaf agak drama hehehe. Namun saya tetap diminta menjalani tes yang kedua 3 bulan kemudian, untuk meyakinkan bahwa saya benar-benar bersih.
3 bulan kemudian konselor saya mengucapkan selamat tinggal pada saya, karena hasil tes saya yang kedua pun negatif sehingga saya sudah dianggap "bersih". Saya nyengir bodoh dan berkata pada beliau, "Semoga saya akan bertemu dengan ibu lagi, namun tidak di ruang konsultasi ini." I've learn my lesson.
Kenapa saya repot-repot menceritakan ini pada anda? Karena saya ingin lebih banyak orang yang tahu bahwa tes HIV itu luar biasa mudah. Ini penting karena anda sangat mungkin tertular HIV. Dengan tingginya tingkat hubungan seksual dewasa ini (baik dibawah umur maupun dewasa,pacar/pasangan resmi atau HTS atau TTM atau dengan pekerja seks laki-laki dan perempuan); serta rendahnya tingkat kesetiaan (terimakasih untuk sinetron dan lagu yang tidak mendidik), risiko seseorang terkena HIV menurut saya lumayan besar. Itu baru dari soal hubungan, belum lagi dari pemakaian narkoba, dari transfusi darah/organ, dari ibu melahirkan, dari berbagai faktor sebenarnya.

Paling aman tentunya bersikap setia pada pasangan, dan jujur pada diri masing-masing, plus melakukan tindakan pengamanan yang diperlukan. Bila merasa pernah memiliki faktor risiko (relawan untuk rehabilitasi narkoba, tenaga medis di pusat HIV, etc - ga cuma yang jelek jelek aja lho hehehe),lakukan tes HIV tersebut bersama-sama, dan ulangi lagi 3 bulan kemudian, lalu bila keduanya negatif jauhi faktor risiko tersebut. Ini bukan hanya demi anda sendiri, namun juga bagi orang lain. Bila anda tidak sadar terkena HIV, pasangan adna atau orang lain bisa tertular juga lho. FYI, ada kasus dimana seorang pasien tertular HIV dari organ yang didonorkan padanya. Ternyata donor organnya waktu dites memang HIV negatif, namun 10 bulan sebelum mendonorkan ia sempat melakukan kegiatan risiko tinggi dan tidak mengetes ulang. Menyeramkan sekali bukan?
Buat pembaca Denpasar yang ingin melakukan VCT, bisa menghubungi klinik Merpati di RSUD Wangaya, ataupun di RSUD Sanglah. Di tiap RSUD biasanya ada klinik VCT ini, atau coba kontak ke kantor BKKBN terdekat. Yang saya rasakan, kerahasiaan benar-benar terjamin dan kita memiliki hak untuk mundur dari terapi (bila anda merasa tidak cocok dengan konselor anda). Yang penting sih menurut saya kejujuran dari dalam diri kita sendiri, untuk menerima bilamana kita memang punya faktor risiko. Karena dalam kasus HIV/AIDS yang serba tertutup, penyebaran diam-diam ini jauh lebih membahayakan. Jadi kuatkan diri anda, dan selamat mencoba :)
Campaign poster by http://nicoledhughes.blogspot.com/
2015 awareness poster from Flickr.com
Aldoxtina campaign from adland.tv
Saturday, July 4, 2009
Para ko-as, kindly read....
‘May I never see in the patient anything but a fellow creature in pain. May I never consider him merely a vessel of the disease’ by Maimonides (1135–1204)
Setelah sekian lama “mengundurkan” diri dari rimba FK, saya iseng mengecek blog PSPD, dan salah satu komentar disana sungguh menyengat saya:
Quote by Anonym ” Mengenai sampe ada angkatan 1999 yang masih ada, menurut saya itu karena kesalahan mereka sendiri, ngapain mereka bersantai santai ria dan berharap kebaikan akan diluluskan, ya jelas saja akan menambah beban stag. Kalo ga pantas lulus kenapa harus dipaksakan...?”
Thanks hotshot, it is so nice to be “appreciated” by a fellow colleague.
Mungkin si anonym yang berkomentar ini ga pernah ditendang keluar dan menghadapi kerasnya hidup ya…. Life is not that easy, it never was and it never will. Emang, senior ada yang kelihatan ‘santai-santai’ aja, tapi ga ada yang ‘berharap kebaikan akan diluluskan’. Semua usaha, semua berjuang. Saya pun salah satu diantaranya. Buat yang pernah lihat saya, pasti pikir saya salah satu yg ‘bersantai’. Ada yang tahu ga saya harus lgs kabur sesudah kuliah (bahkan saat) biar saya ga telat kerja? Ada yang lihat ga saya berurai airmata but still keep my head up high karena dibentak ma dosen yang ga percaya saya harus kerja? Yeah, I depend on me, and I’m proud of it. Begitu pula rekan-rekan saya yang terlambat karena punya anak, atau yang memang sudah berusaha tapi kondisi belum memungkinkan. Semua niat, semua usaha.
Apa komentarnya? “Ngapain mereka nikah and punya anak?”, “ klo emang otaknya ga sanggup masuk FK keluar aja,” “Udahan aja kalau ga sanggup bayar FK”. Saya pengen banget jadi dokter, tapi ga berarti saya harus sampe jual diri utk bayar kuliah. Temen saya pengen banget jadi dokter, tapi menurut dia saatnya dia menjadi seorang ibu. Ada hal-hal yang menurut kami lebih penting, tapi kami masih berusaha menjalaninya sekaligus meraih gelar dokter kami. Belum lagi kebuntuan yang rasanya menghimpit, tekanan dari lingkungan keluarga dan kampus, itu yang para senior rasakan. Kami berjuang menghadapi itu semua, dan akan terus berjuang sampai kami meraih gelar kami. Kalau bisa kami pun pengen selesai cepat, ngapain lama2 dikampus?
Sadly, waktu awal-awal saya masuk FK saya pun salah satu yang beranggapan seperti di atas. Saya rasa semua anak baru, hijau, junior etc (dan yang naïf, ga pernah berdiri dengan kaki sendiri) pasti berpikir seperti itu. I personally don’t think it’s our real nature, it’s merely how FK brainwashed us to think that way. Calon dokter yang baik adalah yang pintar, yang lulus tepat waktu, yang ga neko-neko. Diluar itu? Ke laut aja….
Saya ingat saya dianggap aneh karena sibuk bertandang ke kampus A, padahal justru para anak2 ekonomi (beserta as-dos akutansi) yang membantu saya memahami pelajaran statistic dan membuat saya mampu mendapatkan nilai B, tanpa belajar sedikitpun. FK mengajari saya healing the body of a human, tapi tidak mengajari saya healing the soul. Bila FK sanggup mengajarkan betapa berharganya jiwa manusia, saya ataupun anak FK lainnya tidak akan berpikir segitu buruknya terhadap sesama.
Lupa ya prinsipnya palliative care?
1. To cure sometimes
2. To relieve often
3. To comfort always
Ini juga applicable banget sama manusia. Terkadang si sakit akan lebih cepat sembuh bukan karena obat yang begitu tepat sasaran (there’s no such thing anyway, human body are to random!), tapi karena dokternya care terhadap mereka. Bukan sekedar si sakit, tapi seorang manusia yang punya nama, punya jiwa, punya harga diri. Jadi kenapa kita masih ga care ma sesama dan end-up bitching and badmouthing others? You wanna be a doctor, so are we!
Untuk anonym, life is hard and unfair dude, but we’re still tryin’. If you still think you’re super, I wanna see you walk in our shoes. And when you do, I’m gonna laugh my a$$ off cause I bet you ain’t gonna make it.
Setelah sekian lama “mengundurkan” diri dari rimba FK, saya iseng mengecek blog PSPD, dan salah satu komentar disana sungguh menyengat saya:
Quote by Anonym ” Mengenai sampe ada angkatan 1999 yang masih ada, menurut saya itu karena kesalahan mereka sendiri, ngapain mereka bersantai santai ria dan berharap kebaikan akan diluluskan, ya jelas saja akan menambah beban stag. Kalo ga pantas lulus kenapa harus dipaksakan...?”
Thanks hotshot, it is so nice to be “appreciated” by a fellow colleague.
Mungkin si anonym yang berkomentar ini ga pernah ditendang keluar dan menghadapi kerasnya hidup ya…. Life is not that easy, it never was and it never will. Emang, senior ada yang kelihatan ‘santai-santai’ aja, tapi ga ada yang ‘berharap kebaikan akan diluluskan’. Semua usaha, semua berjuang. Saya pun salah satu diantaranya. Buat yang pernah lihat saya, pasti pikir saya salah satu yg ‘bersantai’. Ada yang tahu ga saya harus lgs kabur sesudah kuliah (bahkan saat) biar saya ga telat kerja? Ada yang lihat ga saya berurai airmata but still keep my head up high karena dibentak ma dosen yang ga percaya saya harus kerja? Yeah, I depend on me, and I’m proud of it. Begitu pula rekan-rekan saya yang terlambat karena punya anak, atau yang memang sudah berusaha tapi kondisi belum memungkinkan. Semua niat, semua usaha.
Apa komentarnya? “Ngapain mereka nikah and punya anak?”, “ klo emang otaknya ga sanggup masuk FK keluar aja,” “Udahan aja kalau ga sanggup bayar FK”. Saya pengen banget jadi dokter, tapi ga berarti saya harus sampe jual diri utk bayar kuliah. Temen saya pengen banget jadi dokter, tapi menurut dia saatnya dia menjadi seorang ibu. Ada hal-hal yang menurut kami lebih penting, tapi kami masih berusaha menjalaninya sekaligus meraih gelar dokter kami. Belum lagi kebuntuan yang rasanya menghimpit, tekanan dari lingkungan keluarga dan kampus, itu yang para senior rasakan. Kami berjuang menghadapi itu semua, dan akan terus berjuang sampai kami meraih gelar kami. Kalau bisa kami pun pengen selesai cepat, ngapain lama2 dikampus?
Sadly, waktu awal-awal saya masuk FK saya pun salah satu yang beranggapan seperti di atas. Saya rasa semua anak baru, hijau, junior etc (dan yang naïf, ga pernah berdiri dengan kaki sendiri) pasti berpikir seperti itu. I personally don’t think it’s our real nature, it’s merely how FK brainwashed us to think that way. Calon dokter yang baik adalah yang pintar, yang lulus tepat waktu, yang ga neko-neko. Diluar itu? Ke laut aja….
Saya ingat saya dianggap aneh karena sibuk bertandang ke kampus A, padahal justru para anak2 ekonomi (beserta as-dos akutansi) yang membantu saya memahami pelajaran statistic dan membuat saya mampu mendapatkan nilai B, tanpa belajar sedikitpun. FK mengajari saya healing the body of a human, tapi tidak mengajari saya healing the soul. Bila FK sanggup mengajarkan betapa berharganya jiwa manusia, saya ataupun anak FK lainnya tidak akan berpikir segitu buruknya terhadap sesama.
Lupa ya prinsipnya palliative care?
1. To cure sometimes
2. To relieve often
3. To comfort always
Ini juga applicable banget sama manusia. Terkadang si sakit akan lebih cepat sembuh bukan karena obat yang begitu tepat sasaran (there’s no such thing anyway, human body are to random!), tapi karena dokternya care terhadap mereka. Bukan sekedar si sakit, tapi seorang manusia yang punya nama, punya jiwa, punya harga diri. Jadi kenapa kita masih ga care ma sesama dan end-up bitching and badmouthing others? You wanna be a doctor, so are we!
Untuk anonym, life is hard and unfair dude, but we’re still tryin’. If you still think you’re super, I wanna see you walk in our shoes. And when you do, I’m gonna laugh my a$$ off cause I bet you ain’t gonna make it.
Subscribe to:
Posts (Atom)