Mungkin pelajaran paling berharga dalam hidup itu saya dapatkan saat 5 tahun bekerja jadi sales untuk wedding/event photography di Bali. Saya diajar untuk melihat cerita dibalik sebuah foto sempurna.
Saat teman saya mengirimkan video pernikahan Priyanka Chopra, yang saya bayangkan ribetnya kru kamera dan foto plus kru WO/EO yang harus memastikan semuanya serba sempurna. Lalu setelahnya para editor yang harus membuat foto dan film terlihat ciamik dan dramatis.
Dari pihak mempelai pun, nggak kebayang pressure untuk memastikan semua seperti di jadwal/script. Asal tahu saja, satu wedding foto 'natural/alami' itu bisa entah berapa kali diambil dan diulang gayanya agar bisa dapat yang pas.
Dan setelahnya, masih ada mempelai yang tidak bahagia dengan hasil fotonya walau bagus banget. Atau yang fotonya sebenarnya biasa saja tapi si editor mampu memilih dan menempatkan foto-foto yang tepat di wedding albumnya sehingga terlihat wah.
Saya belajar nggak semua yang terlihat sempurna itu benar-benar sempurna. Saya belajar kalau foto impian nan menawan itu hasil kerja keras dan modal yang nggak sedikit. Saya jadi nggak bisa merasa sirik pada orang yang terlihat lebih sempurna dari saya. Ya udah sih, belum tentu saya mau bekerja sekeras dia.
Foto IG misalnya. Foto bagus perlu kamera/hape bagus. Perlu makeup/prop yang bagus. Perlu diambil berkali-kali sampai dapat yang pas. Perlu nenteng orang lain sebagai fotografer terpercaya. Perlu diedit dan diberi tagar yang tepat.
Saya melihat foto IG yang sempurna malah pegal karena tahu saya nggak bisa investasi waktu, tenaga, dan uang sampai sebegitunya. Realistis sih. Saya suka lihatnya tapi saya tahu saya nggak akan sanggup, jadi saya nggak bisa sirik. Kagum iya, sirik nggak.
Di era dimana semua diedit untuk terlihat wah dan sempurna, bagi saya ini pelajaran tak ternilai. Saya seolah mampu melihat dibalik topeng yang dikenakan orang-orang. Dan disaat orang lain terjual impian diatas awan, saya bisa tetap menginjak bumi.
Karena dibalik indahnya suara seruling bambu ada tangisan bambu yang disayat, dan sekian tahun latihan si pemain seruling. Karena dibalik halusnya batik sutra ada sekian ulat sutra yang mati, dan sekian lama waktu menenun dan membatik.
Hidup ini nggak seindah dan sesempurna foto impian, jadi nggak perlu kita merasa kurang atau sirik melihat sekilas kesempurnaan orang lain. Kita nggak tahu cerita mereka. Bukan berarti lalu kita sibuk sensi ya. Nggak ada salahnya ber-Wow ria dan menghargai gegap gempita hidup.
Karena manusia begitu indah. Bahkan dikala mereka terpuruk pun ada keindahan yang bisa kita lihat, dalam kedukaan nan tragis sekalipun. Lihat segalanya lebih dekat dan penuh rasa cinta, tanpa rasa cemburu dan keserakahan. Kita manusia itu hebat lho.
"Gue tuh bukan wanita baik-baik," kata saya. Saya bahkan nggak berani melihat matanya. Duduk di mobil bersama teman kencan saya, saya memutuskan bercerita tentang emotional abuse/siksaan emosional yang saya alami saat masih menikah.
Saya bercerita tentang bagaimana saya dikata-katain, bagaimana saya dibuat merasa rendah dan nggak berharga. "Walaupun gue tahu itu nggak benar, tapi ada bagian dari gue yang percaya. Mau gimana lagi. Itu ya gue. Gue udah terima kalau gue bukan wanita baik-baik."
"Ary," kata teman kencan saya sambil mengelus rambut saya perlahan, "You are created in the image of God. Kamu diciptakan dalam imaji Tuhan." Saya terdiam. Terhenyak. Walau saya tahu dia Kristen taat, saya nggak menduga itu responnya.
Ternyata begini rasanya bertemu dengan orang yang taat beragama karena memang mencintai agama dan Tuhannya. Adem. Hangat. Lega. Rasanya saat itu seperti Tuhan sendiri yang mengelus rambut saya dan mengingatkan saya: "Kamu nggak kenapa, Nduk. Saya tetap menyayangimu."
Padahal dia bisa memperlakukan saya dengan buruk. Saya yang berangasan dan sangat seksual sangat berhak diperlakukan tanpa hormat oleh orang beriman sepertinya. Apa sih saya? Hanya seorang pendosa, seorang wanita murahan kalau menurut mantan suami saya.
Nggak lho. Diantara semua lelaki yang saya kencani, mungkin dia yang memperlakukan saya benar-benar dengan penuh hormat dan bukan hanya karena ingin meniduri saya. Yang lain sih baik dan hormat juga, tapi orang ini bisa banget bertingkah karena dia orang baik-baik dan saya bukan. Tapi nggak.
Dicurhatin sekian banyak wanita, banyak sekali yang bilang: "Walau selingkuh, suami saya itu orang baik-baik, taat beribadah, doanya lancar dan nggak putus." Saya sering juga mendengar teman 'disergap' dan dihakimi gengnya karena dianggap kurang agamanya. Jangan ditanya di medsos, yang ganas banget jadi pejuang keyboard konon demi membela agamanya.
Saya nggak mengerti. Agama apapun harusnya membuat diri kita dan sekeliling kita merasa aman dan damai. Ini yang kita bela dan kita pamerkan ke dunia itu ego kita atau agama kita? Nggak heran banyak orang yang kelihatan beragama sekadarnya. Males juga kali kalau jadinya malah deg-degan dan dipersekusi oleh orang yang konon lebih beragama.
Padahal harusnya enggak. Nggak perlu pamer dekatnya kita sama Tuhan kalau kelakuan kita nggak mendukung. Nggak perlu sombong merendahkan orang lain karena Tuhan juga nggak sombong. Nggak perlu mencari surga kalau nggak mau menciptakan surga di bumi ini.
Kami bertiga di mobil itu: saya, dia, dan Tuhan. Tuhan mengingatkan saya berharga lewat dirinya. Saya pun melihat jumawanya, kuatnya manusia lewat dia. Inilah kenapa agama dan kepercayaan itu ada, karena kita manusia mampu menjadi lebih baik, karena Tuhan ingin kita kembali kepadaNya.
Sesampainya di depan apartemen saya kami berpelukan. "Terimakasih," kata saya, "Terima kasih sudah menyelamatkanku." Saya tahu ia bahagia mendengarnya. Saya tahu Tuhan bahagia mendengarnya. Tuhan, Ary pulang.
"Mama bangs*t!" Keluar lagi deh postingan itu, yang mengingatkan wanita agar selalu ada buat anak agar anak nggak durhaka.
Nggak banyak yang mengingatkan si lelaki jangan kurang ajar pada wanita, karena anak kan menggugu dan meniru. Dilihat bapak/paman/kakek/sosok lelaki di keluarga mengkasari wanita, ya dianggap normal.
Nggak banyak yang mengingatkan si lelaki kalo kawin bukan cuma modal kont*l saja. Bahwa kont*l nggak cukup buat bayar kontrakan atau beli beras kecuali itu kont*l diberdayakan via jual diri.
Nggak banyak yang mengingatkan si lelaki kalo punya anak itu tanggung jawab dia juga. Bukan cuma sekedar materi, tapi juga iman dan takwa dan pembawaan secara sosial. Jadi kalo anak bertingkah ya cerminan bapaknya juga.
Nggak banyak yang mengingatkan si lelaki kalau melanggar janji suci yang dibuat di hadapan Tuhan itu berat. Setia sehidup semati sampai ada cewek cantik yang jadi pengganti. Loe pikir Tuhan produser serial tv The Bachelor?
Tetap lho, apapun yang terjadi si Emak yang salah. Padahal bikin anak kan kudu pake lelaki, bukan kayak stek mangga yang tinggal tanam potongan batang. Terus faedah lelaki apa dong? Cuma nyumbang sesendok teh sperma aja kok lebay banget.
Jujur aja sih kalo nggak sanggup menafkahi lahir (baca: materi) dan batin (baca: perasaan). Bilang aja "Eh gue pengen ngewe tanpa ada ikatan dan gue ga akan mau ngebiayain anak tapi gue mau ngewe tanpa kondom dan keluar di dalam."
Gue akan tersenyum penuh gairah dan menyodorkan kartu nama dokter vasektomi.
Lah iya dong. Kalo elu ga mau tanggung jawab ya elu vasektomi lah, sama gue mau lihat hasil tes penyakit seksual loe. Kalo elu nikahin gue mesti sanggup support finansial dan perasaan, kalo nggak rate perek berlaku tiap kita main. Enak aja mau gratisan.
Kita perempuan juga mesti mikir. Pilih suami karena yakin bisa jadi pasangan yang setara dengan kita dan jadi ayah yang mampu memgayomi dan membesarkan anak kita. Dan yang bisa dipegang sampe akhir nanti.
Tapi kita pilih suami karena takut dicap nggak laku. Kita pilih suami yang bisa dipamerin di sosmed. Kita pilih suami yang konon bisa mendekatkan kita ke surga. Kita nggak mikirin nasib anak dan keluarga kita.
Padahal kalau kita miskin, anak kita pun akan tambah miskin karena nggak mendapat kesempatan untuk memperbaiki hidupnya lewat pendidikan atau kecerdasan/kearifan sosial pergaulan.
Padahal kalau anak besar melihat kekerasan (yang seringkali dampak stres karena kekurangan finansial) maka dia besarnya juga kasar atau merasa kekerasan itu wajar, baik sebagai yang melakukan atau sebagai korban.
Tapi gpp lah anak kehilangan masa depan karena terjebak lingkaran kekerasan dan kemiskinan. Yang penting kan mama+papa sekarang eksis dan bakal masuk surga. Nanti tinggal drama dan sharing artikel "Mama bangs*t" sambil ngetag pasangan untuk saling mengingatkan.
Saya membaca 'surat' Mbak Kitty untuk masyarakat Indonesia, dan hati saya merasa gundah gulana. Yah, tepatnya sirik sih. Saya tidak tahu mbak tinggal dimana di negara barat, tapi pastinya mbak tinggal di tempat yang lumayan berada kalau sampai mbak bisa bilang: "People in the western side of the world, they don’t need a rule to line up. They don’t need a punishment so that they would throw their trash in a trashcan. And they don’t smoke in public, with or without a sign telling them to do so." Mbak pasti tinggal di kawasan mewah ya, yang semua aman damai tentram. Bandingannya kaya di Disneyland gitu deh mbak, yang kalau mbak buang sampah sembarangan langsung muncul pegawainya untuk memungut sampah itu. Tapi yah, masuk Disneyland kan hampir Rp 1,3 juta rupiah perorang sekarang.
Soal sampah, tempat tinggal saya di LA itu sebenarnya cuma sekitar 5 menit naik mobil ke Staples Center, Downtown LA, dan kawasan 'tenar' lainnya. Tapi di kawasan saya setiap paginya di'dekorasi' dengan (maaf) kotoran dan air kencing manusia. Sampah berserakan dan begitu pula 'benda-benda' antah berantah yang amat sangat mungkin keluar dari tubuh manusia. Kalau mbak pikir itu mengerikan, mbak mesti jalan-jalan ke kawasan Skidrow di LA. Skidrow dan Art District (namanya keren kan??) itu bisa dibilang berseberangan, tapi sementara Art District itu seni banget (ceritanya), Skidrow isinya tenda-tenda orang-orang homeless dan (lagi-lagi) segala jenis sampah. Nggak banget kan? Mungkin mbak akan bilang, "Oh itu Skidrow, yang isinya memang orang kulit hitam nggak jelas." Tapi saya jalan-jalan ke Arizona juga ada kok orang-orang seperti itu, daerah-daerah yang lumayan 'lawless' alias nggak berhukum bahkan di kawasan yang dominan kulit putih sekalipun.
Soal nggak taat peraturan pun semua orang pernah melakukannya, bahkan yang kalangan menengah keatas sekalipun. Kalau mbak baca Yahoo misalnya, atau Huffington Post di internet, ada kok cerita-cerita misalnya saja soal orang yang ngaku-ngaku anjingnya service dog/anjing khusus orang sakit biar dia bisa bawa anjingnya kemana-mana. Ini hal kecil memang, tapi tetap saja mentalitas "pokoknya saya senang!". Korupsi/bribe juga marak di Amerika sini, misalnya saja NRA yang melobi terus-terusan agar mereka bisa terus jualan senjata api, padahal senjata api mereka biang kerok segala gun accident/kecelakaan senpi di Amerika. Di Amerika saya tidak pernah tahu peraturan mana yang dibuat untuk menguntungkan produsen/perusahaan besar dan peraturan mana yang dibuat demi masyarakat. Paling tidak kalau ketilang polisi di Indonesia ketahuan itu uangnya kemana saja.
Saya awalnya menulis ini mau bilang kalau soal taat tidak taat peraturan itu bukan tergantung dari belahan dunia mana anda berasal, tapi tergantung dari tingkat pendidikan anda. Yang pendidikannya rendah ya pastinya nggak terlalu ngerti masalah rumit seperti kemana sampah itu akan berakhir, misalnya saja. Tapi kalau dipikir-pikir nggak juga, karena yang pendidikannya tinggi pun akan dengan senang hati tidak menuruti aturan asal menguntungkan bagi mereka, persetan dengan orang lain. Mungkin yang lebih tepatnya adalah ada orang yang tidak taat peraturan karena tidak mengerti (misalnya saja rakyat kecil di Indonesia), dan ada yang tidak taat peraturan karena, yah, fuck you. Entah karena mereka miskin dan jadi pahit terhadap dunia, atau karena mereka kaya dan jadi sombong terhadap dunia. Saya dan orang-orang lain yang ditengah-tengah mah cuma bisa menonton saja, syukur-syukur tidak jadi pelanduk yang mati ditengah-tengah dua gajah.
Saya tidak tahu berapa lama mbak tinggal di negara barat, tapi mungkin mbak sudah lupa bahwa orang Indonesia itu sebenarnya sangat ketat aturan adatnya. Paling tidak di masa lalu. Misalnya saja di daerah Geringsing di Bali, ada aturannya untuk memanen tumbuhan untuk pewarna alami kain tenun mereka. Efeknya jelas, melestarikan lingkungan dan memberi kesempatan regenerasi alam. Semua aturan-aturan adat yang berkaitan dengan alam sebenarnya jelas alasannya, tapi karena dibumbui 'ancaman-ancaman' mistis jadi malah tidak digubris. Mistis itu bertentangan dengan agama. Mistis itu tidak berdasarkan sains/ilmu pengetahuan. Saya ditertawakan oleh orang Indonesia yang di LA saat saya bilang saya takut diganggu Leak/setan saat merayakan hari raya Nyepi di Bali, dibilang kok saya masih percaya begituan. Mungkin iya, cerita mahluk halus seperti itu cuma karangan leluhur belaka, tapi apa salahnya kalau berkat cerita itu kita bisa memberikan 'time off' untuk dunia semalam saja?
Agama modern jelas salah satu sebab lunturnya kebudayaan dan adat-istiadat di Indonesia. Namun modernisasi juga punya andil yang tidak kalah besar. Percaya takhayul itu 'tidak pintar/terbelakang', padahal dijaman dulu saat kita masih percaya sumber air dijaga oleh siluman dan roh halus mana pernah kita berani buang sampah sembarangan disana. Stigma takhayul sama dengan terbelakang ini ya datangnya dari negara Barat, yang memang tidak percaya begituan. Sekali waktu saya membaca artikel tentang Denmark yang membatalkan rencana pembangunan jalan tol karena dikhawatirkan melewati kerajaan peri. Serius ini tidak bohong. Kalau anda baca komentar-komentar orang (Amerika) soal artikel itu ya, seolah Denmark itu bodoh luar biasa. Negara Barat juga menyumbangkan kapitalisme, yang menyodorkan dunia segala sesuatu yang harus dipunyai dunia. Masalah apakah barang yang disodorkan itu berfaedah atau tidak ya urusan belakangan. Misalnya saja dulu punya kipas angin rasanya sudah surga dunia, sekarang kalau tidak pakai AC merk ternama rasanya miskin tidak karuan. Dulu yang hitam manis itu sudah te-o-pe be-ge-te, sekarang kalau tidak pakai krim pemutih dan anti kerut plus makeup rasanya seperti wanita kelas bawah. Akhirnya ya semua orang harus kerja demi membeli barang-barang yang diiklankan "Must Buy!" oleh para kapitalis. Bahkan para pemuka agama pun tidak mau kalah berjualan buku atau atribut keagamaan lainnya. Walhasil semua orang berlomba mengejar uang dan akhirnya tidak memperdulikan orang lain. Inilah western influence yang sebenarnya. Di Indonesia, sialnya, yang terjadi adalah gabungan ketidaktahuan dan ketidakpedulian. Klop.
Mbak Kitty, saya masih bingung maksud mbak menulis surat itu untuk apa, apalagi pakai Bahasa Inggris. Yang butuh diingatkan untuk berubah bukan orang-orang yang kalangan menengah keatas, tapi orang-orang yang kalangan menengah kebawah yang merupakan dasar dari piramida ini dan pastinya tidak sefasih itu Bahasa Inggrisnya. Kalau mbak mengingatkan para orang Indonesia yang menengah keatas agar mau berusaha 'membereskan' Indonesia, apa iya mereka tidak mengerti Bahasa Indonesia? Atau mbak memakai Bahasa Inggris biar lebih greget dan opini mbak lebih diterima oleh para orang elit ini? Bila iya, berarti kita dalam masalah besar mbak. Bagaimana mbak bisa mengharapkan para orang terhormat ini untuk peduli dengan Indonesia kalau mereka saja menganggap Bahasa Indonesia kampungan? Sementara di LA sini suami saya yang orang Amerika berusaha keras menguasai Bahasa Indonesia agar bisa benyanyi dangdut dengan lancar. Nasib nasib....
Saya setuju sekali mbak soal Indonesia harus berubah. Kita negara kepulauan, kalau sampah dan kendaraan/moda transportasi tidak dikelola dengan baik bisa runyam urusannya. Tapi saya kurang setuju kalau caranya dengan menanamkan western influence. Kita perlu menanamkan rasa cinta tanah air, karena apa yang kita cintai pasti kita jaga dengan baik. Kita perlu mengingatkan, menjaga agar masyarakat Indonesia tetap melihat jauh keluar, melihat diri mereka sebagai bagian dari rencana alam maha besar, sebagaimana dikatakan dalam cerita-cerita dan adat-istiadat kuno Indonesia. Jangan sampai masyarakat Indonesia cuma bisa melihat kedalam diri mereka sendiri dan mementingkan diri sendiri sebagaimana gaya khas orang barat. Bukan berarti sains dan teknologi barat kita boikot dan kita anggap perusak ya. Western influence yang bisa memajukan kita ya tidak apa-apa diadaptasi, tapi bukan berarti kita harus kehilangan asal-usul kita, kehilangan jati diri kita. Dan jelas, kita tidak akan bisa mencapai hal ini dengan berusaha menjadi "orang/bangsa lain".
Mbak Kitty, pasti mbak sudah capek kan seharian ini 'didera' komentar-komentar di blog mbak? Maaf ya saya jadi menambah kepusingan mbak (duh ge-er hahaha). Jangan tersinggung ya mbak, saya dan mbak tujuannya satu kok: membereskan Indonesia; approach/pendekatan kita saja yang berbeda. Kalau mbak masih mumet, mari lho ini ditonton si Akang saya menyanyikan lagu Mbah Dukun-nya Alam. Peace out yo mbak :)