Dan dia pun datang lagi. Lagi. Lagi. Lagi.
Kata orang saya cari masalah. Kata orang kalau saya terus mention mantan saya secara publik maka wajar kalau dia terus menghubungi. Saya yang memberikan dia kekuasaan. Saya yang nggak bisa let him go.
Di Indonesia yang hal seperti ini dianggap tabu, wajar kalau saya disuruh hush hush. Kita nggak bisa speak up karena "jangan cari masalah". Diamkan saja, nanti juga dia bosan dan pergi. Tapi apa iya? Apa iya dia akan pergi? Lalu bagaimana diam ini akan membantu menyembuhkan kita yang hancur berantakan.
Taktik favorit abuser adalah gaslighting. Abuser akan membuat kita percaya bahwa kita buruk, kita jelek. Ia akan membuat kita percaya bahwa apapun yang ia bilang benar, dan apapun yang kita pikir tentang diri kita itu salah. Ini adalah cara merantai yang efektif, karena bukan hanya ia bisa memuaskan diri melihat kita hancur berantakan namun kita juga tak akan mampu keluar dari kekejaman ini.
Untuk gaslighting bisa dilakukan secara efektif, penting untuk memutus koneksi ke dunia luar. Kalau kita punya sedikit saja kepercayaan diri, ini bisa dipupuk oleh perhatian dari orang-orang sekitar kita. Lama kelamaan kita bisa kabur. Namun saat lingkungan sekitar menolak mendengar karena "Sudah, jangan ngomongin jemuran kotor", pintu keluar itu tertutup bagi korban bahkan bila ia siap untuk pergi.
Perasaan itu… luar biasa mengerikan. 4 tahun berlalu dan saya masih menggigil ketakutan saat ia menyerang saya walau hanya lewat tulisan. Bahwa saya sampah. Bahwa semua hal buruk yang ia lakukan (pada saya) adalah karena saya sendiri. Bahwa ia adalah hal terbaik yang bisa saya dapatkan dan semua lelaki lain hanya mempergunakan saya.
Saya biasanya membalas dan menjelaskan bahwa yang ia katakan itu tidak benar, apalagi tentang orang-orang dekat seperti Kangmas dan teman-teman saya. Tapi kemarin saya diam. Balasan yang sudah setengah jalan itu saya hapus. Saya nggak berhutang padanya untuk menjelaskan diri saya. Kalau dia mau menganggap semua tentang saya itu jelek, itu derita err hak dia. Tidak ada faedahnya bagi saya untuk terus beradu pantun.
Tapi saya nggak akan membiarkan suara saya dirampas. Saya menolak untuk hidup dalam ketakutan akan orang ini. Karena faktanya kalau dia akan tetap menghubungi saya, apapun yang saya lakukan. Abuser nggak akan melepaskan korban yang melarikan diri darinya. Bagi abuser seperti ini, saya miliknya apapun yang terjadi. Diam saya nggak akan mengubah pemikirannya.
Saya juga nggak mau diam karena saya tahu saya beruntung. Kepercayaan diri saya boleh jeblok, tapi harga diri saya selangit. Siapa elu beraninya menyakiti gue? Kalau saya nggak sesombong ini, saya nggak akan bisa keluar dari jeratannya. Saya pun beruntung karena lingkaran sekitar saya disini sepenuhnya mengagumi dan menyayangi saya, walau saya hanyalah anak hilang di negeri orang.
Tapi yang lain, terutama di Indonesia, harus hidup dengan suara itu di kepalanya. Mereka harus hidup dengan selalu mempertanyakan, "Apa iya gue sejelek itu?". Tanpa perbandingan dengan orang lain yang juga merasakan, terlalu mudah bagi kita untuk percaya 100% bahwa abuser kita benar. Bahwa kita sampah. Bahwa kita nggak berguna. Bahwa kita nggak pantas dicintai.
Bagi kalian yang berada dalam jeratan kekerasan (verbal) rumah tangga seperti ini, bagi kalian yang menjadi sansak emosional pasangan kalian: kalian valid.
Perasaan kalian valid.
Ketakutan kalian valid.
Nilai kalian valid.
Setelah nyawa, hal terburuk yang bisa dirampas seseorang dari diri orang lain adalah kepercayaan dan nilai diri. Kerusakannya pun bisa sangat dramatis, dan pemulihannya tidak berbanding proporsional dengan waktu paparan. 1 tahun di gaslighting dan di abuse bisa butuh 1 dekade penyembuhan, atau bahkan seumur hidup.
Inilah kenapa saya terus menulis. Inilah kenapa saya menjelaskan perasaan saya, ketakutan saya. Saya tidak mau ada orang yang terus berpikir bahwa ia pantas di-abuse. Bahwa pasangan/teman/orang dekatnya benar dan ia pantas diperlakukan dengan buruk. Saya nggak mau lagi ada orang yang mengalami apa yang saya pernah rasakan.
Dan ia akan terus datang, bahkan tanpa saya memprovokasinya. Karena ia akan terus berpikir saya miliknya bahkan saat saya sudah bahagia bersama Kangmas. Ia akan terus membuat saya merasa tak pantas, membuat saya merasa apa yang saya miliki sampah. Dan anda tahu, itu hak dia dan derita dia. Kalau saya sampah, ngapain balik lagi toh? Kenapa nggak hidup bahagia aman damai dengan istrinya yang sekarang?
Saya ingin para korban lain menyadari, ini nggak pernah tentang kita. Ini bukan karena ia sebegitu cintanya sama kita. Bukan pula karena kita yang pantas diperlakukan seperti ini, karena kita 'cari gara-gara'. Ini tentang kontrol. Mereka adalah orang-orang sakit yang menggunakan kontrol untuk memuaskan kebutuhan dirinya sendiri, untuk merasa mereka 'sesuatu'. Dan ya, mereka juga sangat rendah diri sehingga membuat kita merasa lebih rendah lagi memberikan kepuasan dan justifikasi diri bagi mereka.
Saya tahu perjuangan ini nggak mudah. 4 tahun berpisah dan saya masih gemetar dan seolah hilang akal tiap ia menyerang saya. Saya sudah jauh lebih baik sekarang, tapi saya masih belum sepenuhnya lepas dari trauma saya. Saya tahu ada banyak orang diluar sana yang juga berjuang dengan PTSD (post traumatic stress disorder) seperti ini. Jangan menyerah. Anda nggak sendiri.
No comments:
Post a Comment