Saat kongkow dengan teman Indonesia weekend kemarin, saya bilang walau terdengar tidak patriotis, kalau saya ditawarkan atau dianjurkan mencari pasangan orang Indonesia mohon maaf saya harus mundur.
Langsung seolah saya bisa mendengar sorak-sorai mencemooh: Jyaaah gaya. Mentang-mentang tinggal di Amrik. Sombong. Sok londo. Muka nggak seberapa aja. Siapa pula yang mau sama elu. Malu sama hidung nan pesek. Nggak tahu diri.
Bukan songong sih, tapi lebih aman saja rasanya. Perselingkuhan, misalnya, adalah hal yang luar biasa besar disini. Tokoh publik yang ketahuan selingkuh atau menyewa jasa prostitusi bisa dihabisi sama netijen sini, bahkan karirnya bisa kelar. Arnold Schwarzenegger misalnya. Malu semalu-malunya kelihatan nggak setia.
Nah di Indonesia? Jawabannya adalah: "Wajar lelaki birahi tinggi…" Yang sibuk dikejar dan dihujat adalah wanitanya, baik pasangannya: "Salah loe dia selingkuh," atau teman mainnya: "Dasar perek!" Selingkuh dan/atau poligami pun tak jarang dipakai sebagai simbol status bahwa lelaki ini 'mampu', baik urusan duit maupun urusan ranjang. Males kan?
Belum lagi tiadanya jaminan hukum untuk anak-anak. Boro-boro alimony/tunjangan perceraian untuk istri, kadang begitu dapat yang baru si lelaki langsung hilang ditelan bumi dan si Ibu yang harus menafkahi anak-anaknya. Pakai dihujat lingkungan pula karena nggak punya suami.
Beda sama disini yang kita bisa mengejar pasangan untuk membayar nafkah anak, kalau perlu sampai potong gaji otomatis. Bukan hanya secara hukum, orang-orang yang kabur dari tunjangan anak pun dianggap nista, dilihat nggak bertanggung jawab.
Jangan lupa juga kebiasaan orang Indonesia yang penuh kritisi dan seolah anti wanita. Kadang lelaki model Avanza berharap pasangannya model Tesla seri terbaru, pas ditolak dibilang wanitanya nggak tahu diri. Lah. Wanita yang punya standar pun dihakimi oleh masyarakat, dibilang sombong dan nggak ngaca serta digosipkan macam-macam. Mending nggak usah kan.
Nggak semua pria Indonesia seperti ini, pasti adalah yang baik dan bisa diandalkan. Namun dengan pola pikir masyarakat yang seperti ini, sulit bagi wanita untuk mendapatkan perlakuan yang adil dan beradab. Suaminya bener, eh keluarga yang minta disambit bata. Keluarga beradab, eh suami tergoda bujukan setan teman-temannya.
Bukan berarti nggak ada harapan. Kita wanita pertama-tama harus belajar menghargai diri kita sendiri dan sesama wanita. Nggak usah rempong sama wanita lain. Coba dengarkan cerita mereka dan bukan sibuk bercerita tentang mereka. Karena wanita figur ibu, yang punya anak/keponakan/cucu/etc pun ajarkan untuk menghargai wanita.
Kalau kata orang, perubahan sikap itu perlu beberapa generasi. Makanya OKB ya kelakuannya OKB, nggak bisa langsung seningrat OKL. Mengajarkan untuk menghargai wanita dan memberikan hak-hak wanita (plus anak-anak) nggak akan langsung terlihat hasilnya sekarang, namun akan terlihat beberapa generasi setelahnya.
Asal tahu saja, tidak seperti di Indonesia di Amerika wanita harus memperjuangkan hak pilihnya untuk pemilu. Banyak lho yang sebenarnya wanita Indonesia dari awal lebih maju daripada di Amerika. Amerika sampai di posisi yang menghargai wanita adalah karena perjuangan wanitanya untuk meraih hak-hak mereka, bukan tetiba dianugerahkan oleh pemerintahnya.
Kita harus rajin baca-baca berita dunia agar tahu bagaimana wanita di negara lain diperlakukan, agar kita tahu apa hak seorang wanita. Kalau ada yang masih nyinyir, terutama yang lelaki, saya doakan semoga mereka bisa tinggal di negara maju biar tahu kalau mereka nggak ada apa-apanya. Karena emang nggak lho. Kelakuan anti-wanita dan sok macho orang Indonesia mah nggak laku sama orang sini.
Nggak ada salahnya lho punya standar. Nggak ada salahnya memilih lelaki yang akan bertanggung jawab, baik secara finansial maupun secara mental, yang malu bila selingkuh dan malu saat tidak menafkahi anak istri. Kalau anda bilang itu terlalu berlebihan, ya itu derita anda sih. Standar kami mah beda.