~ Dear Mantan Tersayang terbit 28 Agustus 2017 ~
Siang ini saya menangis sesenggukan di kubikel kantor saya. Untung stok tisu di kantor banyak, jadi jaket saya nggak jadi korban. Alasannya? Jeng jeng jeng. Si Mantan.
Sudah beberapa minggu ini saya dan mantan mulai saling bertegur sapa. Ngobrol bareng, pergi makan bareng. Nggak ada CLBK yang saya rasakan setelah sekian lama tidak bersua. Saya merasa nyaman, seperti bersama teman lama. Saya antusias mendengar cerita dia dan pasangannya, dia pun yang asik menertawakan lelucon-lelucon jayus saya. Saya bahagia melihat dia bahagia. Biar bagaimanapun juga, dia orang yang pernah berarti dalam hidup saya. Saya pun mengerti perasaan pasangannya. Saya juga pernah jatuh cinta sama lelaki ini, saya nggak bisa sepenuhnya marah dia jatuh cinta pada mantan saya.
Lalu entah bagaimana hari ini kita membicarakan masa lalu via e-mail. Mendadak saya terseret pusaran amarah dan tenggelam dalam kesedihan. Badan saya langsung terasa pegal dan sakit, kepala saya pusing, dan airmata saya terus mengalir. Saya benci lelaki b*ngs*t ini. Saya benci perempuan j*l*ng ini. Saya ingin menghancurkan mereka berdua seperti mereka menghancurkan saya 'atas nama cinta'. Saya ingin mereka menderita sebagaimana saya menderita. Saya benci, benci, benci.
Orang seringkali berpikir memaafkan itu berarti plong ala orang suci, yang tidak ada lagi rasa amarah, yang penuh kedamaian diiring bunyi genta malaikat dan sinaran surga. Yang kalaupun 'luka'nya diganggu, nggak akan terasa sakit lagi. Itu… lumayan nggak mungkin sih. Paling nggak menurut saya.
Saya kaget bahwa masih ada bagian dari saya yang begitu tertekan akan apa yang terjadi di masa lalu saya. Saya pikir sudah selesai ya, saya yang sibuk bertualang di tengah kota Los Angeles dan menikmati hidup saya. Saya dengan pencapaian-pencapaian saya. Ternyata nggak. Ternyata masih ada bagian dari saya yang hidup dalam amarah, yang hidup dalam kebencian dan kemurkaan. Masih ada bagian dari diri saya yang terluka. Dan itu wajar. Saya cinta mati lho sama mantan saya, sampai sempat membuat buku berisi kisah cinta kita. Wajar banget butuh waktu untuk menyembuhkan luka ini.
Saya seperti melihat dua film yang berbeda. Yang satu film rom-com (romantic comedy) ala Big Bang Theory atau Friends dimana saya dan mantan berteman akrab. Mereka (mantan dan pasangan) berdua menyayangi satu sama lain, sama-sama pintar dan sederhana; sementara saya adalah teman single mereka yang asik dan heboh. Disisi lain, sebuah film thriller diputar, dimana saya berkejar-kejaran dengan mereka berdua di sebuah rumah tua nan seram, berusaha melumpuhkan mereka sebelum mereka melumpuhkan saya. Lebih sering film rom-com ini yang diputar, tapi sekalinya film thriller yang main, duh mak…
Mungkin saya seharusnya nggak mengobrol lagi dengan mantan saya, putus kontak sama sekali. Mungkin. Tapi film thriller itu akan tetap diputar. Hanya dengan memutuskan hubungan tidak bisa semerta-merta menghapus apa yang telah terjadi. Dikubur dalam-dalam mungkin, hipnoterapi sekalian untuk melupakannya. Tapi itu seperti mengobati luka bacok dengan band-aid/plester, atau ditutup dengan kain kasa tanpa obat, berharap kalau tidak kelihatan akan sembuh sendiri. Bagus kalau nggak malah terinfeksi dan mesti diamputasi, atau jadi sepsis/keracunan darah.
Yang harus saya lakukan adalah menemui wanita di dalam film thriller itu, yang sekarang sedang bersembunyi dalam gelap di salah satu kamar di rumah tua itu. Yang menggenggam erat pisau berlumuran darah dengan mata nanar, dan berusaha tetap waspada diantara sakit dan perih luka-luka yang dideritanya. Yang berharap semua ini segera berakhir, yang siap mengarahkan pisau itu ke dirinya sendiri agar ia tidak lagi harus hidup dalam ketakutan dan kepedihan. Yang harus saya lakukan adalah membuka kamar itu, mendekati tempat persembunyiannya, duduk disampingnya dan berkata, "Hey. Semua akan baik-baik saja."
Dia akan memberontak, dia akan lari, dia akan bilang bahwa ia berhak untuk marah dan benci. Dan saya akan berdiri, jongkok, duduk tenang disampingnya sampai ia bisa tenang. Saya akan membuktikan bahwa saya tidak memandangnya rendah, bahwa saya mengerti perasaannya, dan bahwa perasaannya valid. Dan saat ia sudah tidak mampu dan tidak mau lagi hidup dalam amarah, saya akan memeluknya hangat, membimbingnya ke sebuah sofa yang nyaman, dan meraih remote. Kita akan mengakhiri film thriller tersebut, dan kita akan menonton film rom-com itu bersama-sama.
Saat saya mengobrol dengan mantan saya, sesekali terbersit di kepala tentang betapa saya pernah begitu mencintainya, betapa bersyukurnya saya bahwa dia menjadi bagian dari hidup saya, dan bahwa kami memang jauh lebih baik sebagai teman saja. Saya tahu perpisahan kami tak terelakkan. Saya merasa gembira mendengar pasangannya mencintai dia. Saya benar-benar berharap mereka berdua bisa sebahagia saya dan mantan saya dulu, dan semoga kali ini selamanya. Wanita di film thriller itu masih sibuk nelangsa sendiri. Tidak apa-apa. Saya akan sabar menanti sampai ia siap untuk mengakhiri filmnya.
Salam hangat dari Los Angeles 😊
No comments:
Post a Comment