~Buku "Dear Mantan Tersayang" akan terbit di Gramedia 28 Agustus 2017. Yaaayyy!!! ~
Katanya kalau mau lihat tabiat orang yang sebenarnya, lihat bagaimana cara ia memperlakukan orang yang lebih 'rendah' dari dirinya. Nyontek dari Harry Potter: "If you want to know what a man's like, take a good look at how he treats his inferiors, not his equals." Jadi jangan kagum melihat si abang ganteng atau nona cantik bermanis-manis dengan anda di kantor, kalau judes nggak karuan sama tukang gorengan di depan kantor atau office boy yang malang.
Logis? Banget. Orang yang posisinya lebih rendah dari kita konon nggak akan bisa membantu kita. Jadi kadang kelihatan muka asli orang yang bengis dan tidak ada ampun. Ngapain juga sok baik kalau mereka nanti nggak berguna, benar? Salah hehehe. Kita harus baik pada semua orang, betul? Toh karma dan/atau pahala nggak akan kemana. Kecuali Pahala Kencana, itu bisa antar kota antar propinsi.
Tapi percaya apa nggak, berbaik hati pada orang yang kurang beruntung daripada kita itu jauh lebih gampang daripada berbaik hati pada orang yang lebih beruntung daripada kita. Coba aja lihat kalau ada orang miskin tertimpa musibah, langsung semua tergerak mendoakan, meng-amin-i, mengirim bantuan. Kalau ada orang kaya tertipu sekian ratus juta? Jangan harap… Ada juga pada nyinyir dan sibuk "Gpp kan Horang Kayahhh." Ibu Saeni yang wartegnya di razia tahun lalu langsung berlimpah simpati, tapi simpati berbalik saat diketahui ibu ini orang berada. Lah, emang orang berada nggak berhak dilindungi dari razia ilegal?
Contoh lain, seberapa sering sih anda menawarkan bayar bensin teman anda yang membawa mobil dan tahu dia sanggup membeli bensin? Yang anda duduk manis di mobilnya, disamping dompet dan tasnya yang harganya puluhan juta, dan anda yang "Gue bayarin tol/parkir/minum ya?" Bukan basa-basi lho, beneran sudah keluarin duit siap bayar. Dulu pas saya masih lebih muda (nggak mau ngaku tua aw aw), saya ada kok periode nggak tahu diri begini hahaha. Untungnya sekarang sudah tahu diri dan tahu malu. Untungnya lebih secure/pede dan nggak perlu lagi sirik sama orang.
Lho iya. Asas manfaat itu kan dasarnya nggak secure/nggak pede dan dimanifestasikan dalam bentuk kesirikan. Pas ngasi/membantu orang yang lebih susah dari kita, hati terangkat dan serasa malaikat surga tetiba bernyanyi merdu disinari cahaya surgawi (saaaaaah….). Kita mampu, mereka nggak. Wajar dong kita ngasi. Tapi kalau ngasi/membantu orang yang terlihat lebih oke dari kita, walau saat itu mereka memang butuh bantuan, kayanya nggak rela. Toh mereka mampu, kita nggak, ngapain juga dibantu? Kita sirik sama apa yang mereka punya, kita nggak secure sama apa yang kita punya. Padahal segelas kopi untuk teman yang tiap saat kita tebengin pulang kampus/kantor nggak akan bikin kita bangkrut.
Di salah satu bab buku saya [#kibasrambut],saya bercerita tentang pentingnya merasa nyaman dengan diri sendiri. Kenapa? Karena saat kita nyaman dengan diri sendiri kita merasa (dan memang!) terlihat menarik, yang kemudian akan membuat orang lain nyaman bersama kita. Serem-serem gimana gitu punya teman yang bisa maki-maki pelayan di restoran, nanti bisa-bisa pas kita susah dilibas juga. Punya teman yang kelihatan nggak bersalah menikmati limpahan teman yang kaya (lalu pakai acara ngomongin teman itu dibelakang pula!) juga horror banget. Gimana nanti kalau kita (syukur ya Tuhan…) jadi sukses dan kaya? Ini baru teman lho, kebayang nggak kalau calon pasangan? Maaf ya abang ganteng, saya harus mundur dulu seribu langkah.
Hidup itu kan harus give and take, harus menerima dan memberi. Nggak perduli siapa yang memberi, kita harus siap memberi kembali. Mengulurkan tangan juga begitu, nggak perduli untuk mendorong gerobak pemulung atau mobil sport dua pintu, tangan tetap harus terulur sebisanya. Sebisanya yaaa. Yang menerima ya jangan kurang ajar, mengharap lebih karena dilihat kita 'lebih', atau karena merasa sudah sering memberi kita 'lebih'. "Ngasi cuma segini, padahal mobil bagus", "Ngasi cuma segini, padahal gue ngasi jauh lebih banyak". Mas mbak, kalau nggak bisa ngeliat bahwa temannya sudah berusaha ngasi semampunya, jangan diterima bantuannya. Daripada ngedumel buang pahala hihihi.
Apa saya masih suka manfaatin orang? Pastinya doooooong…! [#sambitsendal] Eh nggak, serius. Kadang ada ketemu orang yang lagaknya "Oh kamu rakyat jelata nan malang, mari sini saya bantu karena saya adalah anugrah nan indah dari Tuhan". Kalau begini saya suka bimbang, harga diri yang ingin balik bodi, tapi logika yang "Biarin aja, toh gratis hihihi". Kadang juga ketemu orang yang butuh bantuan tapi udah sensi duluan "Loe pikir gue butuh?? Loe pikir gue rendahan??". Kalau begini juga bimbang, otak yang ingin "Byeeeeee selamat tinggal TiTi DiJe dah dah", tapi nurani yang "Shh… Sabar. Dia emang butuh kok."
Yang bisa saya lakukan adalah berusaha melihat orang terlepas dari apa yang dipunyainya. Teman yang tabungannya 10 kali lipat tabungan saya bukan berarti nggak butuh pelukan saat sedih. Nggak perlu juga saya pede sudah membantu teman yang hutangnya 10 kali lipat. Membantu, mengulurkan tangan bukanlah dilakukan untuk membuat kita merasa lebih baik, atau untuk mengangkat derajat kita. Kita lihat ada yang lagi susah, kita bantu. Buat apa? Nggak buat apa-apa. Kalaupun harus dijelaskan, ini soal empati. Kita tahu saat susah itu ya susah, maka kita berusaha meringankan beban orang lain yang sedang susah.
Susah? Banget. Secara naluri sulit untuk memberikan apapun pada orang yang terlihat berkelimpahan. Disini karakter kita diuji: apakah kita seseorang yang secure/nyaman dengan diri kita sendiri, ataukah kita masih berkecimpung dalam kesirikan. Lebih mudah memberikan sesuatu yang kita punya daripada sesuatu yang kita (pikir) tidak punya. Padahal mau orang ini punya 10 rumah atau tidur di emperan toko, membelikan sebotol air saat ia sedang kehausan harganya sama, sama-sama Rp 3,000. Begitu pula pelukan atau sebuah senyuman, atau sekedar kuping untuk mendengarkan. Bisa kan kita seperti ini? Yuk, belajar menutup mata duniawi dan membuka mata hati. Kita semua sama lho 😊.
No comments:
Post a Comment