Pagi ini dibuka dengan mencari set buku A Song of Ice and Fire A.K.A Game of Thrones. Saya nggak nonton serinya, tapi akhirnya kepincut baca bukunya karena kebetulan bisa pinjam e-book gratis di perpus kota Los Angeles. Satu hal yang membuat saya bertahan di Amerika, apapun yang terjadi, itu adalah perpustakaannya dan kemudahan meminjam buku via aplikasinya (gojek mana gojek huhuhu). Tapi tetap ya, namanya manusia, sudah bisa pinjam dan perpanjang gratis tapi tetap banyak maunya. Kali ini ingin punya sendiri, biar ga makan ati kalau pas lagi seru-serunya masa peminjaman habis dan nggak bisa diperpanjang. Dari mencari e-book, mendadak ketemu paperback book set, lalu ketemu leather bound book set. Saya jatuh cinta sama yang terakhir.
Saya pernah bilang ke teman saya: Cinta itu pakai perasaan, Relationship itu pakai perhitungan. Saya cinta buku leather bound ini, tapi apa iya saya siap menjalin relationship dengannya? Ini ibarat punya pasangan yang penampilannya keren tapi high maintenance, atau rumah di gang tapi punya mobil dua. Yang paperback bisa dibawa kemana-mana, rusak juga nggak terlalu sakit hati; dan saat dua buku yang lain keluar, bisa gampang beli untuk nyamain bukunya. Kalau beli yang leather bound, saat dua buku lagi keluar bisa-bisa covernya ga nyambung dan malah jadi jelek penampilannya di rak buku. Jangan ditanya kalau kebetulan rusak, nggak akan dapat gantinya. Dan lagi, don't judge a book by its cover bukan? Kalo isinya sama, buat apa juga beli yang mahalan cuma karena penampilannya lebih menarik?
Tapi saya pengen. Saya mau. Saya ingin punya.
-Baju saya semua harganya dibawah $10
-Budget makan cuma $20 per minggu
-Makan di luar pun paling mahal cuma $20-25
-Nggak pernah massage manicure dsb
-Nggak pernah ke bar atau hura-hura
Apa saya perlu yang leather bound? Sebenarnya nggak dan kalau ada paperback yang beda harganya bisa setengahnya atau lebih nggak akan saya toleh yang leather bound itu. Bekas juga gpp asal kondisi terawat. Tapi ini beda harganya cuma $8. Masih affordable. Dan itulah sebenarnya sumber masalah saya: affordable/masih kebeli. Saat di Indonesia yang gaji Indonesia mana kebeli buku Rp 400,000. Bagus kalo cuma segitu, biasanya kehantam pajak dan melambung harganya. Disini $37 itu kurleb gaji setengah hari kerja, jadi masih masuk akal. Makanya hasrat tak tertahan, karena mampu.
Kebanyakan dari kita berpikir kalau godaan itu datang dari luar, padahal godaan yang sebenarnya datang dari diri kita sendiri: ego kita, keserakahan kita. Antara beli mobil biasa dengan yang agak bagus misalnya. Atau selingkuh dan tidak selingkuh. Kalau perbedaan pilihannya jauh banget, mungkin nggak jadi masalah karena nggak mampu. Nggak mungkin dong dari budget Avanza maksain beli BMW, atau posisi admin mau selingkuhin si bos besar yang super hot. Tapi kalau "cuma" sedikit bedanya, lain cerita. Avanza baru vs BMW seken versi lama yang bedanya cuma 1 tahun cicilan, atau flirting/genit-genitan dengan sesama rekan admin yang kebetulan menyambut pdkt anda. Toh nggak parah, toh risk free. Dan pertanyaan "Do we need it?" atau bahkan "Should we even do it?" tiba-tiba tidak lagi relevan karena ego dan keserakahan sudah bersabda.
Ini sebenarnya mainan marketing banget. Seperti kombo-kombonya fastfood. Apa iya kita benar-benar butuh ekstra kentang dan minuman ringan super large? Atau kata "Spesial", "Sale", "Diskon". Kita suka perasaan we're getting more and beat the system, kita dapat lebih dan bisa 'ngalahin' sistem. Padahal sistemnya sudah diatur agar kita yang kalah. Nggak mungkin dong do'i-do'i jualan yang bikin mereka loss/merugi, bisa gulung tikar nantinya. Sampai ketidak-bertanggungjawaban kita di media sosial yang main klik like dan share tanpa cek dan ricek pun bentuk ego dan keserakahan kita. We want to be a part of the group, we want to be (seen as) the change in this world; dan hasrat serta keinginan yang begitu menggebu itu bergabung dengan kemudahan pencapaian untuk menghasilkan godaan yang tak tertandingi.
Padahal semua agama mengajarkan untuk menahan diri dan mengontrol 'want' kita. Hampir (atau bahkan mungkin) semua agama memiliki versi puasa masing-masing. Buku-buku spiritualisme atau self-help pun selalu menekankan pengendalian diri, selalu mengajarkan untuk membedakan want dan need. Kenapa? Karena saat kita membiarkan diri kita terbawa dengan 'want' atau 'pengen' kita, kita membiarkan diri kita terjerumus dalam siklus keserakahan yang akan mengosongkan hidup kita. Saat kita memenuhi 'want' kita, yang terpenuhi bukan hanya kebutuhan kita namun juga ego dan keserakahan kita. Saat haus minum air putih pasti rasanya puas. Tapi saat haus minum air putih merk impor di lounge/resto mewah pasti lebih super rasanya. Konflik batin terjadi saat kita tidak mampu mengulangi perasaan pencapaian tersebut. Kita menjadi merasa inadequate/tidak mampu, merasa rendah diri, yang kemudian disusul dengan amarah dan ketidakbahagiaan.
Tapi bukan berarti semua 'want' itu jelek. 'Want' itu bagaimanapun juga adalah bentuk pencapaian, dan sebagai manusia kita perlu pencapaian untuk membuat kita maju. Memenuhi kebutuhan dasar kita sangatlah penting, tapi mendorong diri kita untuk melakukan lebih akan mengembangkan diri kita. Kebanggaan yang kita rasakan saat kita mampu meraih pencapaian akan memupuk kepercayaan diri kita, apalagi saat kita dan orang lain berpikir kita tidak mampu. Dan ini semua dimotori oleh 'want' kita.
Dilema 'want' ini bisa dicegah bila kita memiliki dua hal: kemampuan melihat dan menilai 'want' secara objektif (termasuk efek positif dan negatif yang mungkin terjadi setelah 'want' itu terpenuhi), dan kemampuan menimbang seberapa berharganya 'want' tersebut. 'Want' anda harus membuat anda feel good about yourself, harus membuat anda menjadi seseorang yang lebih baik, harus mengembangkan diri anda. Bahkan sekedar 'want' untuk mencoba restoran mahal pun sebenarnya baik bila itu bisa membuat anda merasa termotivasi kedepannya. 'Want' tidak boleh membuat anda mengorbankan diri anda atau orang lain, atau membuat anda terjerumus dalam ketidakbahagiaan kedepannya. Better safe than sorry.
Hari ini saya masih akan melanjutkan pencarian buku saya. Saya masih belum tahu apakah saya akan memenuhi 'want' saya atau sekedar 'need'. Yang saya tahu keputusan apapun yang saya ambil haruslah sesuatu yang bisa saya pertanggungjawabkan ke diri saya. Kedengarannya lebay yah, ini cuma beli buku lho bukan beli mobil. Tapi kalau kita tidak mulai memaksa diri kita untuk bertanggungjawab akan keputusan-keputusan kecil kita, bagaimana yang besar? Selamat malam Indonesia ❤