Om Swastyastu,
Saya Ida Ayu. Dari semenjak lahir dan selama kurang-lebih 16 tahun saya hidup 'Ida Ayu' itu cuma sekedar nama buat saya, nama yang disingkat 'Dayu'. Nama yang mengundang kekonyolan karena kakak dan adik saya juga bernama Dayu, dan pada satu periode dalam hidup saya tiap kali kami menerima telepon yang mencari Dayu kami harus bertanya: "Dayu yang mana? Yang SMA, SMP, atau SD?". Atau saat ospek seorang teman saya, yang kebetulan bernama Bayu, menjawab dengan semangat: "Siap kak! Saya sudah makan!". Senior saya menjawab dengan judes: "Saya bertanya pada Dayu, bukan Bayu! Pakai kupingmu!". Ini di Jakarta, bukan di Bali. Disana Dayu bukanlah sebuah gelar berarti. Itu cuma sebuah nama.
Saya pertama kali sadar 'Dayu' lebih dari sekedar nama saat saya kelas 2 SMA. Guru sosiologi kami mengajarkan tentang suku-suku di Indonesia, dan saat menjelaskan tentang suku Bali beliau berkomentar (dengan guyon): "Namun baru pertama kalinya saya melihat Dayu yang urakan seperti disini. Biasanya Dayu yang saya tahu lemah lembut dan kalem.". Saya memang urakan: bolos sekolah untuk menonton slank, pakai sandal gunung plus kaus kaki hitam ke sekolah, atau paduan tas hijau neon dengan kaus kaki merah dan sepatu kuning-hijau. Sebaliknya, teman saya yang juga Hindu Bali namun bukan Brahmana benar-benar masuk stereotip itu: dia pintar, bertutur kata halus, kesayangan guru. Saat itu saya berpikir, apa rasanya menjadi dia. Pelajaran sosiologi itu diajarkan ke seluruh murid kelas 2 SMA kami, berarti semua angkatan kami tahu bahwa di Bali (ceritanya) saya lebih tinggi derajatnya dari teman saya ini. Cuma karena saya kebetulan lahir sebagai Dayu. Dia memiliki lebih banyak karakteristik sebagai 'Dayu' yang ideal daripada saya, namun saya yang mendapat segala penghormatan. Disitu saya sadar, dibalik nama 'Dayu' ada tanggung jawab yang besar.
Saat saya duduk di bangku kuliah dan aktif di Kerohanian Hindu kampus saya dibekali berbagai wejangan dari ibu saya, mengingat ini pertamakalinya saya berinteraksi dengan banyak penganut Hindu Bali. Walau saya berusaha, namun pada akhirnya hampir semua saya langgar.
- "Jangan berbagi makanan/minuman dengan orang lain", saya pikir kenapa tidak? Di SMA saya biasa berbagi minuman satu sedotan dengan teman-teman, kenapa tidak boleh dengan teman Hindu Bali?
- "Jangan duduk sembarangan." Lagi lagi kenapa tidak? Saya biasa jongkok dimana-mana saat nongkrong dengan teman SMA, apa bedanya dengan sekarang?
- "Harus cari pasangan Ida Bagus." Setelah capek berburu Ida Bagus dan melihat sendiri para Ida Bagus yang saya tahu bisa bebas memilih pasangan walau bukan Ida Ayu (dan beberapa yang punya dobel: Ida Ayu dan non-Ida Ayu) saya memutuskan ini tidak adil.
Saat kuliah juga saya merasakan keganasan beberapa orang terhadap gelar saya. Saat orientasi pertama saya di kerohanian Hindu seorang senior naik keatas meja dan berkata: "Jangan berani pakai gelar disini. Disini ga berlaku gelar kalian. Jangan belagu!!". Saya cuma bisa melihat dengan aneh dan berpikir, "Siapa pula mau pamer gelar disini? Bukan pilihan gue lahir jadi Dayu.". Disitu saya sadar: jadi 'Dayu' itu banyak aturannya dan punya potensi di benci orang (walau lagi-lagi bukan pilihan saya lahir jadi 'Dayu').
Tak lama setelah saya pindah ke Bali saya memutuskan menghilangkan nama saya. Saya bukan lagi 'Dayu Ary', tapi hanya 'Ary'. Saya sudah pernah mencoba ini di Jakarta saat saya berpasangan dengan pria non-Ida Bagus, saya pikir saya harus melepas gelar saya karena saya menikah di luar kasta. Saat itu seorang cenayang bisa menebak bahwa saya 'Dayu', dan menasehati saya agar tidak membuang siapa saya. Namun di Bali lagi-lagi saya merasa muak dengan ke'Dayu'an saya. Saya tidak bisa bicara bahasa Bali (saya punya alasan pribadi), tidak bisa membuat banten, dan sangat kikuk saat harus menaruh banten atau mebakti. Karena itu saya dicap 'Dayu karbitan'. Saya mencoba pedekate dengan Ida Bagus di Facebook, dan biasanya saya ditolak mentah-mentah karena mereka memiliki lebih banyak pilihan. Semua orang mau punya suami Ida Bagus, namun tidak semua Ida Bagus peduli istrinya Dayu atau bukan. Beberapa yang tertarik hanya sebatas berusaha mengajak saya tidur, dan hampir semua sudah memilki istri/pasangan. Saya melihat beberapa Brahmana yang saya kenal memperlakukan braya/pengikutnya seperti pembantu, tanpa respek sedikitpun dan justru merasa mereka harus dilayani; dan sebaliknya, saya melihat banyak orang menjadi sangar begitu tahu saya Brahmana karena merasa saya akan semena-mena terhadap mereka. Saya capek ditolak, saya capek ditipu, saya capek berusaha menjalankan aturan yang berlaku sementara para orang-orang ini semena-mena melanggarnya. Buat apa saya mempertahankan nama saya? Apa artinya nama saya bila aturan hanya dijalankan sepihak, bila saya di-judge hanya dari luarnya saja? Bukankan Brahmana sepatutnya lebih bijak dan lebih santun?
Namun saat ini saya masih seorang Dayu. Ibu saya, yang bukan Dayu, mengajarkan saya apa artinya menjadi 'Dayu', menjadi keluarga Brahmana, menjadi penghuni Grya. Beliau membuat dan menghaturkan banten tanpa mengeluh, dan secara aktif belajar memperdalam pengetahuannya mengenai Banten dengan alasan: kita keluarga Brahmana, kita harus tahu. Ayah saya seringkali dipanggil untuk 'muput' atau melaksanakan upacara, dan ibu saya akan siap sedia disamping beliau walau upacaranya kadang berlangsung tengah malam atau pagi buta. Beliau hangat dan menghargai para Bibi/braya yang datang membantu kami saat menjelang upacara besar, dan beliau selalu mengingatkan saya: tanpa mereka kita tidak ada artinya. Dan akhirnya saya menemukan kunci keberadaan saya: sebagai Brahmana saya ada di muka bumi ini bukan untuk diri saya. Saya disini untuk umat. Saya disini untuk Tuhan. Tapi apa yang bisa saya lakukan bila saya bahkan tidak bisa menjait/membuat canang dengan baik dan benar? Apa yang bisa saya lakukan bila saya tidak lolos kualifikasi sebagai 'Dayu' ideal, bila saya masih suka jalan malam dan menikmati segelas alkohol dan sebatang rokok bersama teman? Jawabannya: Banyak. Yang pertama dan paling utama: saya bisa mulai dengan membetulkan diri saya sendiri, menghilangkan (atau setidaknya menekan) sifat-sifat buruk dan berusaha meperbanyak sifat baik seperti toleransi dan pengertian. Saya bisa melakukan berbagai kebaikan, menolong orang dan membuat orang lain nyaman dan bahagia; dan ini berlaku untuk semua orang yang kebetulan saya temui dan bukan hanya penganut Hindu Bali. Saya bisa melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan seorang Brahmana, seperti Pengobatan, Agama, Sastra dan memodifikasinya supaya sesuai dengan apa yang saya bisa. Sebelumnya saya mengambil jalan Pengobatan dengan kuliah kedokteran, namun akhirnya saya memilih jalan Sastra dan menulis blog ini. Blog ini saya tulis untuk memotivasi para pembaca saya, dan membuat hidup mereka lebih baik. Blog ini saya tulis untuk mengingatkan pembaca saya agar lebih toleran dan mau melangkah maju. Bukankah ini juga sastra? Bukankah ini juga melayani umat?
Lahir dengan nama 'Dayu' bukanlah sebuah pilihan, namun menjadi 'Dayu' adalah sebuah pilihan. Akan ada banyak yang berkomentar bahwa saya bukanlah contoh yang baik, bahwa saya tidak pantas menjadi seorang Dayu, sebagaimana saya melihat orang-orang Brahmana yang menyindir dan nyinyir terhadap seorang famili saya yang berpasangan dengan bule. Saya cuma bisa menjawab dengan salam jari tengah, sebagaimana saya menjawab aturan sepihak yang memberatkan 'Dayu' sebagai wanita. Hanya Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang berhak dan bisa menilai apakah saya sudah menjalankan yang Beliau harapkan dari saya sebagai Dayu, dan bukan manusia lain. Sampai saat pengadilan terakhir itu tiba, yang saya bisa lakukan hanya berusaha sebaiknya melayani umat dengan cara saya sendiri. Ini tugas saya sebagai seorang Brahmana yang saya bawa sejak lahir hingga meninggal nanti. Bahkan kaum Brahmana yang masih muda sekalipun memiliki tugas berat ini, dan disitulah letak penghormatan yang sebenarnya. Kita tidak bisa berkata "Oh nanti akan saya lakukan bila sudah tiba saatnya", karena 'saatnya' adalah saat ini, bukan nanti nanti setelah anda bosan dengan hidup. Menjadi Brahmana bukanlah harga mati, anda masih bisa menikmati hidup selama masih berpegang pada Dharma dan anda berhak melayani umat sebisa anda dan dengan cara anda sendiri. Ingat: Umat bukan ada disini untuk kita, namun kita ada disini untuk Umat. Ini tugas kita, ini tanggung jawab kita.
Om Santi Santi Santi Om
No comments:
Post a Comment