Thursday, December 26, 2013

The Greatest Gift of All

The picture says it all: if you have a banana leaf to share with your friend on a cold rainy day, you have it all. I wish life could always be that simple.

I just had my first Christmas in the US. It was an authentic Christmas with a tall christmas tree laden with ornaments and small family photos and candy canes and piles of gifts for everyone. We had holiday ham and cristmas crackers and smores and so many candies and sweets that I could possibly imagine. We were laughing and telling jokes and had a jolly good fun until it's time to go home. I was buzzed with wine and from the warmth of my husband's family, and I thought to myself there simply is no better day than Christmas day.

Yet as we loaded our gifts and presents to our car a struck of awereness sobered me up. We had arrived with a trunkfull of gifts for our family, no less than a dozen of them. That night we drove home with a huge basket filled with kitchen utensils and a plastic crate filled with art materials for our 5 year olds, and boxes and boxes of toys and children clothes and other little knick knacks and sweets from our stocking stuffer. It filled our trunk and one of the passenger side in our car. That was a lot of gifts. 

I wonder what is it like, as a child, to have so many awesome gifts. My 'massive gift' experience was limited to the rare birthday parties I had as a child, not more than 3-4 times in my whole entire life, which consists of a number of crayons/colored pencil/notebooks/cheap plastic toys. It goes the same with my younger brothers and my 5 year old nephew. The gifts were average (to say the least), but we still periodically do that for the sake of giving the little ones a chance to be a star for a day. The better gifts though, they're unforgettable. The Batman figurine and hand-held racing game that my Dad brought us from Japan in the late 90s was still intact and playable this recent days. And the battered plastic airplane which lost a half of its left wing was sufficient for my little nephew to play pilots (with plastic ruler as the inclined ramp). We remember fondly who gave our toys and even in what circumstance, and with that we developed appreciation towards the giver, regardless how trivial the toys are. It is, you can say, the law of the few. You'd appreciate more if you don't have much.

But what if you always have great gifts, and in large numbers too? Will it desensitize you? I looked at our child's craft materials with deep concern. Will she remember fondly about her grandparents when she uses them? Or when she played with her little pony toy? How sad if she didn't. Because gifts were not supposed to be about getting impressive things, but it's about knowing you are impressive enough for someone to gifting you and thus showing you affection. Yet how, as a child, can she know all this? With mountain of awesome gifts for her to choose from, how can she even remember who gave what? And can she really love every single one of her gifts when she knew perfectly well next birthday or another Christmas she'll have another mountain of gifts? And the toys, what would you feel if you were them and knowing you can be thrown away and/or forgotten in a matter of days? It was supposed to be a day of giving and loving and grateful appreciation, but is it really so?

I remember days I spent with my little stuffed tiger. I had him since elementary school and he's still with me to my late twenties, even though he's lost an eye and has multiple stitches and a couple of cigarette burn (don't ask). Yet to me he worth more than fanciest, fluffiest, softest stuffed animal you could ever found these days. And I am grateful for that feeling. A man who was lost in the desert would appreciate a glass of cold water far better than a rich man in his penthouse. It is an experience that money couldn't buy. I looked at our sleeping child and wonder can I provide the same wisdom for her, or was she beyond salvation. Time will tell. But for me, as I unpacked my gifts from the big wooden basket I remember the picture of the two boys with the banana leaf and I smiled. At times, the only thing you need in a rainy day is someone to share it with, and to know someone care about you enough to shelter you from it. And that, my friend, is the greatest gift of all. Merry Christmas dear friends.




Sent from Samsung Talenan

Thursday, December 19, 2013

Manifesto Brahmana Bali



Om Swastyastu,

Saya Ida Ayu. Dari semenjak lahir dan selama kurang-lebih 16 tahun saya hidup 'Ida Ayu' itu cuma sekedar nama buat saya, nama yang disingkat 'Dayu'. Nama yang mengundang kekonyolan karena kakak dan adik saya juga bernama Dayu, dan pada satu periode dalam hidup saya tiap kali kami menerima telepon yang mencari Dayu kami harus bertanya: "Dayu yang mana? Yang SMA, SMP, atau SD?". Atau saat ospek seorang teman saya, yang kebetulan bernama Bayu, menjawab dengan semangat: "Siap kak! Saya sudah makan!". Senior saya menjawab dengan judes: "Saya bertanya pada Dayu, bukan Bayu! Pakai kupingmu!". Ini di Jakarta, bukan di Bali. Disana Dayu bukanlah sebuah gelar berarti. Itu cuma sebuah nama.

Saya pertama kali sadar 'Dayu' lebih dari sekedar nama saat saya kelas 2 SMA. Guru sosiologi kami mengajarkan tentang suku-suku di Indonesia, dan saat menjelaskan tentang suku Bali beliau berkomentar (dengan guyon): "Namun baru pertama kalinya saya melihat Dayu yang urakan seperti disini. Biasanya Dayu yang saya tahu lemah lembut dan kalem.". Saya memang urakan: bolos sekolah untuk menonton slank, pakai sandal gunung plus kaus kaki hitam ke sekolah, atau paduan tas hijau neon dengan kaus kaki merah dan sepatu kuning-hijau. Sebaliknya, teman saya yang juga Hindu Bali namun bukan Brahmana benar-benar masuk stereotip itu: dia pintar, bertutur kata halus, kesayangan guru. Saat itu saya berpikir, apa rasanya menjadi dia. Pelajaran sosiologi itu diajarkan ke seluruh murid kelas 2 SMA kami, berarti semua angkatan kami tahu bahwa di Bali (ceritanya) saya lebih tinggi derajatnya dari teman saya ini. Cuma karena saya kebetulan lahir sebagai Dayu. Dia memiliki lebih banyak karakteristik sebagai 'Dayu' yang ideal daripada saya, namun saya yang mendapat segala penghormatan. Disitu saya sadar, dibalik nama 'Dayu' ada tanggung jawab yang besar.

Saat saya duduk di bangku kuliah dan aktif di Kerohanian Hindu kampus saya dibekali berbagai wejangan dari ibu saya, mengingat ini pertamakalinya saya berinteraksi dengan banyak penganut Hindu Bali. Walau saya berusaha, namun pada akhirnya hampir semua saya langgar. 
- "Jangan berbagi makanan/minuman dengan orang lain", saya pikir kenapa tidak? Di SMA saya biasa berbagi minuman satu sedotan dengan teman-teman, kenapa tidak boleh dengan teman Hindu Bali? 
- "Jangan duduk sembarangan." Lagi lagi kenapa tidak? Saya biasa jongkok dimana-mana saat nongkrong dengan teman SMA, apa bedanya dengan sekarang? 
- "Harus cari pasangan Ida Bagus." Setelah capek berburu Ida Bagus dan melihat sendiri para Ida Bagus yang saya tahu bisa bebas memilih pasangan walau bukan Ida Ayu (dan beberapa yang punya dobel: Ida Ayu dan non-Ida Ayu) saya memutuskan ini tidak adil. 
Saat kuliah juga saya merasakan keganasan beberapa orang terhadap gelar saya. Saat orientasi pertama saya di kerohanian Hindu seorang senior naik keatas meja dan berkata: "Jangan berani pakai gelar disini. Disini ga berlaku gelar kalian. Jangan belagu!!". Saya cuma bisa melihat dengan aneh dan berpikir, "Siapa pula mau pamer gelar disini? Bukan pilihan gue lahir jadi Dayu.". Disitu saya sadar: jadi 'Dayu' itu banyak aturannya dan punya potensi di benci orang (walau lagi-lagi bukan pilihan saya lahir jadi 'Dayu').

Tak lama setelah saya pindah ke Bali saya memutuskan menghilangkan nama saya. Saya bukan lagi 'Dayu Ary', tapi hanya 'Ary'. Saya sudah pernah mencoba ini di Jakarta saat saya berpasangan dengan pria non-Ida Bagus, saya pikir saya harus melepas gelar saya karena saya menikah di luar kasta. Saat itu seorang cenayang bisa menebak bahwa saya 'Dayu', dan menasehati saya agar tidak membuang siapa saya. Namun di Bali lagi-lagi saya merasa muak dengan ke'Dayu'an saya. Saya tidak bisa bicara bahasa Bali (saya punya alasan pribadi), tidak bisa membuat banten, dan sangat kikuk saat harus menaruh banten atau mebakti. Karena itu saya dicap 'Dayu karbitan'. Saya mencoba pedekate dengan Ida Bagus di Facebook, dan biasanya saya ditolak mentah-mentah karena mereka memiliki lebih banyak pilihan. Semua orang mau punya suami Ida Bagus, namun tidak semua Ida Bagus peduli istrinya Dayu atau bukan. Beberapa yang tertarik hanya sebatas berusaha mengajak saya tidur, dan hampir semua sudah memilki istri/pasangan. Saya melihat beberapa Brahmana yang saya kenal memperlakukan braya/pengikutnya seperti pembantu, tanpa respek sedikitpun dan justru merasa mereka harus dilayani; dan sebaliknya, saya melihat banyak orang menjadi sangar begitu tahu saya Brahmana karena merasa saya akan semena-mena terhadap mereka. Saya capek ditolak, saya capek ditipu, saya capek berusaha menjalankan aturan yang berlaku sementara para orang-orang ini semena-mena melanggarnya. Buat apa saya mempertahankan nama saya? Apa artinya nama saya bila aturan hanya dijalankan sepihak, bila saya di-judge hanya dari luarnya saja? Bukankan Brahmana sepatutnya lebih bijak dan lebih santun?

Namun saat ini saya masih seorang Dayu. Ibu saya, yang bukan Dayu, mengajarkan saya apa artinya menjadi 'Dayu', menjadi keluarga Brahmana, menjadi penghuni Grya. Beliau membuat dan menghaturkan banten tanpa mengeluh, dan secara aktif belajar memperdalam pengetahuannya mengenai Banten dengan alasan: kita keluarga Brahmana, kita harus tahu. Ayah saya seringkali dipanggil untuk 'muput' atau melaksanakan upacara, dan ibu saya akan siap sedia disamping beliau walau upacaranya kadang berlangsung tengah malam atau pagi buta. Beliau hangat dan menghargai para Bibi/braya yang datang membantu kami saat menjelang upacara besar, dan beliau selalu mengingatkan saya: tanpa mereka kita tidak ada artinya. Dan akhirnya saya menemukan kunci keberadaan saya: sebagai Brahmana saya ada di muka bumi ini bukan untuk diri saya. Saya disini untuk umat. Saya disini untuk Tuhan. Tapi apa yang bisa saya lakukan bila saya bahkan tidak bisa menjait/membuat canang dengan baik dan benar? Apa yang bisa saya lakukan bila saya tidak lolos kualifikasi sebagai 'Dayu' ideal, bila saya masih suka jalan malam dan menikmati segelas alkohol dan sebatang rokok bersama teman? Jawabannya: Banyak. Yang pertama dan paling utama: saya bisa mulai dengan membetulkan diri saya sendiri, menghilangkan (atau setidaknya menekan) sifat-sifat buruk dan berusaha meperbanyak sifat baik seperti toleransi dan pengertian. Saya bisa melakukan berbagai kebaikan, menolong orang dan membuat orang lain nyaman dan bahagia; dan ini berlaku untuk semua orang yang kebetulan saya temui dan bukan hanya penganut Hindu Bali. Saya bisa melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan seorang Brahmana, seperti Pengobatan, Agama, Sastra dan memodifikasinya supaya sesuai dengan apa yang saya bisa. Sebelumnya saya mengambil jalan Pengobatan dengan kuliah kedokteran, namun akhirnya saya memilih jalan Sastra dan menulis blog ini. Blog ini saya tulis untuk memotivasi para pembaca saya, dan membuat hidup mereka lebih baik. Blog ini saya tulis untuk mengingatkan pembaca saya agar lebih toleran dan mau melangkah maju. Bukankah ini juga sastra? Bukankah ini juga melayani umat?

Lahir dengan nama 'Dayu' bukanlah sebuah pilihan, namun menjadi 'Dayu' adalah sebuah pilihan. Akan ada banyak yang berkomentar bahwa saya bukanlah contoh yang baik, bahwa saya tidak pantas menjadi seorang Dayu, sebagaimana saya melihat orang-orang Brahmana yang menyindir dan nyinyir terhadap seorang famili saya yang berpasangan dengan bule. Saya cuma bisa menjawab dengan salam jari tengah, sebagaimana saya menjawab aturan sepihak yang memberatkan 'Dayu' sebagai wanita. Hanya Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang berhak dan bisa menilai apakah saya sudah menjalankan yang Beliau harapkan dari saya sebagai Dayu, dan bukan manusia lain. Sampai saat pengadilan terakhir itu tiba, yang saya bisa lakukan hanya berusaha sebaiknya melayani umat dengan cara saya sendiri. Ini tugas saya sebagai seorang Brahmana yang saya bawa sejak lahir hingga meninggal nanti. Bahkan kaum Brahmana yang masih muda sekalipun memiliki tugas berat ini, dan disitulah letak penghormatan yang sebenarnya. Kita tidak bisa berkata "Oh nanti akan saya lakukan bila sudah tiba saatnya", karena 'saatnya' adalah saat ini, bukan nanti nanti setelah anda bosan dengan hidup. Menjadi Brahmana bukanlah harga mati, anda masih bisa menikmati hidup selama masih berpegang pada Dharma dan anda berhak melayani umat sebisa anda dan dengan cara anda sendiri. Ingat: Umat bukan ada disini untuk kita, namun kita ada disini untuk Umat. Ini tugas kita, ini tanggung jawab kita. 

Om Santi Santi Santi Om

Friday, December 6, 2013

Unicorns and Glass Slippers and The Missing Rib

What if the Genesis is true
That God took a rib from Man and made Woman from it
A clone if you please
Albeit with a little tweak
Wouldn't you found someone who is just like you?
Someone who's head can rest comfortably on your shoulder
Just as yours can rest on his/hers?
Someone who's hands perfectly clasped with yours
And even in the midst of the darkest night
Under the thickest blanket and drowsiest sleep
You can still find each other's hand and clasps it tight?
Someone who understand your jokes and worries
Just as you'd understand his/hers?
Someone who you can tell your secrets to
And who'd tell his/hers secrets too?

If this is true (and you are free to believe it is not)
Then for some reason God upped the game
He made so many humans with so many differences
And randomly hid the ribs among them
So human has to see pass the differences 
To find 'the rib' hidden inside
Or to find the one where 'the rib' come from
And be whole again
He forced us to see the soul
And not the human attribute such as shape and size
and colors and language and wealth
and culture and preference and other worldly things
He wanted us to see the soul
And thus making us whole

In a world of instant gratification
In a world of replaceable things
In a world where everything not as it seems
In a world where changes are constant (and to be expected)
Can we still believe such thing as soul mate?
Or is it just a fodder for our delusion?
A staple for our romantic addiction?
Something like the Unicorns and the glass slipper
Fancy to dreamed about
But couldn't be farther from reality
Can we really think it's real?

I have spent only a trifle of the nights of my life with you
I have spent only a trifle of the days of my life with you
I have shed only a trifle of the tears of my life with you
I have echoed only a trifle of the laughter of my life with you
I have been with you only for a very short time of my life
I barely knew you

But we fit perfectly
Our smile lifts each other's feeling
Our laughter is synchronized
Our tears went straight to each other's heart
Our worries are understandable to one another
Our embrace locked like a padlock
Our cuddle fits like two jigsaw pieces
And as I rested my head on your shoulder
Or you rested yours on my chest
Or when we walked together
Or sat together at dinner time 
Our hands can always find one another
And clasps tightly
And we know we have each other
And we know we are not alone
And we know we are a matching pair

I guess it is true, then
All the wives' tale and bible stories
Of how you have someone destined for you
Because I found myself in you
Because I am whole when I am with you
Because you indeed are: my destiny

Monday, December 2, 2013

Jualan Kemiskinan? Yuk Mareeeee......

Waktu berita soal iklan Lifebouy tuai protes di NTT keluar, banyak yang mencibir dan mencela. Dibilang pahlawan kesiangan lah, dibilang tak tahu diri padahal memang miskin lah, dibilang minta CSR yang lebih tinggi lah, intinya: "Elu miskin! Ngaca napa?!"

Lah, emang orang miskin ga boleh punya harga diri?

Pertama-tama, mari kita menekur sejenak: apa sih 'miskin' itu? Buat anda yang punya mobil, saya yang cuma naik motor tentunya terlihat miskin. Tapi di mata rekan anda yang punya 3 mobil, anda yang cuma punya satu tentunya terlihat miskin, dan bagi teman saya yang cuma naik bis dia lebih miskin daripada saya. Jadi apakah saya miskin? Kalau anda kekeuh bilang saya miskin, ya itu urusan anda. Tapi saya ga merasa miskin tuh. Dengan kata lain: kemiskinan itu sebuah perspektif.

Bokor perak buatan Bali, karena divisi silverwarenya Tiffany ga ngeluarin produk ini
#Sarkasme #siapayangmiskincoba

Orang-orang yang saya temui di Amerika sini tercengang-cengang waktu saya bilang hal paling berkesan buat saya di Amerika adalah air keran siap minum. Saya tahu mereka pikir negara saya miskin banget dong. Tapi saya ga merasa negara saya miskin. Awal-awal saya pacaran dengan pasangan saya, kami seringkali bertengkar karena saya merasa dia menganggap remeh Indonesia. Saya bilang: "Kami memang tidak punya kemudahan yang kalian punya, tapi itu bukan berarti kami lebih rendah dari kalian". Setelah hampir 2 tahun menjalin hubungan dan 4 trip/liburan ke Indonesia,  sekarang dia lebih kangen Indonesia daripada saya. Tidak punya sesuatu yang umum dimiliki orang lain bukan berarti kita miskin atau memiliki derajat hidup yang lebih rendah dari orang lain (yang kebetulan punya). Kadang itu cuma berarti kita menjalani hidup yang berbeda.

Saya sepenuhnya mengerti protes para masyarakat NTT. Bukan mereka belagu dan ga mau dibantu ya, tapi lebih ke harga diri mereka. Eksploitasi kemiskinan itu sering kok. Di Bali saya pernah bekerja dengan LSM asing yang konon membantu masyarakat miskin di Bali. Konon membantu, tapi tiap kali minta dana yang keluar adalah Poor, Illiterate, Disadvantage dan beragam kosa kata yang intinya: "ni orang miskin, kesian dikit kenapa?". Hasilnya: vila mewah di puncak bukit milik si penggagas LSM, dan perasaan rendah diri orang-orang yang dibantu. Kebayang ga, anda merasa hidup anda baik-baik saja lalu si orang reseh ini datang dan bilang: "Aduuuuh, gaji kamu sebulan cuma setara gaji saya seminggu....!! Kasian ya, pasti kamu ngerasa kurang bangeeeeet.....!!". Pastinya anda jadi merasa minder dan kesal kan, walaupun orang itu memang benar-benar tulus prihatin terhadap anda. Kalau kita ngerasa hidup kita baik-baik saja, apa hak orang lain untuk datang dan mengupas tuntas 'kemiskinan' kita versi mereka?

Banyak cara yang bisa dilakukan untuk membantu masyarakat NTT atau daerah penuh tantangan lainnya [Ingat, bukan miskin tapi penuh tantangan!]; dan itu bisa dilakukan tanpa mengeksploitasi kemiskinan, tanpa merusak harga diri mereka.  Contoh nyata: video untuk Charity Water dibawah ini. Sama-sama menyoroti kemiskinan, namun dibuat sedemikian rupa sehingga subyeknya masih punya "harga diri' dan bukan cuma sekedar: "Mereka miskin lhoooo.....!!!". Contoh lain bisa dilihat disini, sebuah parodi tentang maraknya iklan pencarian dana yang menitikberatkan kemiskinan di Afrika. Ibaratnya kalau mau ngebantu ya ngebantu aja, jangan bikin yang dibantu ngerasa dipermalukan dan kehilangan harga diri, jangan jualan kemiskinan demi tujuan situ.



Anda-anda yang membaca ini di laptop /komputer canggih dan hape mentereng di kedai kopi dalam mall yang harga secangkir minumannya yang paling murah setara dengan 3 nasi bungkus warteg pakai ayam mungkin tidak percaya kalau Indonesia masih dianggap negara terbelakang oleh para negara (yang konon) maju dan jadi bahan olokan. Berasa 'Jlebb' banget ga sih, sama-sama minum kopi bintang-bucks dan pake i(Lele)Pon tapi dianggap ga lebih baik (atau bahkan lebih buruk) dari orang homeless negara mereka. Ini jadi semacam misi pribadi saya untuk men-counter dan mengedukasi orang-orang yang miskin informasi ini bahwa Indonesia mungkin tidak punya standar hidup yang sama dengan negara (konon) maju ini, tapi warisan budaya dan kebajikan kuno kita jauh lebih maju dari kebudayaan mereka sekarang. Bahagia rasanya kalau pas saya buka mulut saya bisa mengutarakan hal-hal yang lebih santun dan lebih beradab daripada warga negara (yang konon) maju dan membuat mereka jadi respect dengan Indonesia dan tahu Indonesia itu bukan cuma sarang teroris dan negara terbelakang seperti digambarkan media mereka. Anda marah dianggap terbelakang dan sarang teroris? Kebayang kan perasaan masyarakat NTT.

Sudah saatnya kita melihat "kemiskinan" secara berbeda, bukan sekedar 'punya' dan 'tidak punya'. Tiap daerah memiliki standar kemiskinan dan kekayaan sendiri, dan memaksakan/menyama-ratakan konsep 'kemiskinan' itu sama efektifnya dengan memaksakan nasi sebagai makanan nasional. Kalau di Papua selama berabad-abad tidak membudidayakan beras dan makan ubi sebagai makanan pokok, bukan berarti mereka miskin bila tidak makan nasi kan.  Masyarakat NTT (dan banyak pulau/daerah lainnya di Indonesia) butuh air bersih, butuh aksesibilitas, butuh pendidikan dan tenaga medis, butuh pelayanan publik yang setara dengan daerah maju di Indonesia seperti Jakarta atau Bali. Ini yang harus kita lihat dan kita fokuskan. Kenapa mereka butuh ini? Karena daerah mereka sulit mencari air bersih, karena aksesibilitas dan pelayanan publik adalah hak tiap warga negara Indonesia. Ini alasannya. Jangan sekedar mencap mereka 'miskin', jangan alasan membantu karena mereka 'miskin', jangan jual 'kemiskinan' mereka. Anda tidak tahu, bisa jadi hidup mereka lebih bermakna dari hidup anda sekarang. Bila iya, siapa yang miskin sekarang?