Saya nggak suka hiking. Tahu diri banget akan kemampuan fisik yang payah, yang bakalan pas-pasan saat disuruh menjelajah alam terbuka. Saya juga nggak suka sendiri, apalagi di alam terbuka. Panikan kalau nggak ngeliat orang.
Tapi di hari setelah Natal saya malah pergi sendiri. Namanya Secret Swing. Jalannya sih aspal tapi masih pake acara mendaki bukit kecil berdebu sekitar 10 menit. Terjal pula, jadilah saya harus merangkak separuh jalan.
Saya bisa saja nggak pergi. Saya bisa saja menunggu orang yang mau saya ajak hiking bareng. Di kaki bukit mungil itu logika saya berontak. Bagaimana kalau ada macan gunung, ular berbisa, atau bahkan penjahat?
Tapi saya ingin pergi. Saya ingin bisa berkata "I did it. Gue berhasil." Jadilah saya menapak perlahan, berusaha nggak memikirkan apa yang terjadi kalau saya tergelincir. Satu kaki, lalu kaki lainnya, fokus selalu pada jalan dibawah kaki saya dan dimana saya akan menapak berikutnya.
Lalu saya sampai di Secret Swing ini. Hanya ada saya disana, gedung pencakar langit di downtown LA di kejauhan, dan kota serta pangkalan kereta yang membentang dibawah. Saya memberanikan diri naik ayunan yang terlihat rapuh itu. Satu foto saja untuk Instagram, batin saya.
Satu jam kemudian, saya masih berayun pelan, menikmati kesendirian saya. Udara dingin yang mencubit kulit saya menggoda saya untuk pergi, tapi kesenyapan itu begitu indah, begitu damai. Saya nggak ingin bersama orang lain saat itu. Saya hanya ingin bersama saya.
Cerita hiking saya adalah analogi perjalanan hidup saya, dan perjalanan hidup orang-orang lain yang mengalami kepedihan.
• Jangan pikirkan seberapa berat tantangannya, namun terus maju selangkah demi selangkah dan fokus pada langkah tersebut.
• Lakukan sesuatu yang membuat anda harus konsentrasi dan tak sempat lagi larut dalam duka, sesuatu yang membuat anda mampu merasa bangga dengan diri anda.
• Jangan menunggu orang lain. Seberapa banyak pun teman yang anda miliki, perjalanan hidup anda anda sendiri yang harus menjalani.
• Sendiri itu bukan akhir dunia. Sebaliknya, bila kita mampu merasa nyaman dengan diri kita, sendiri itu bisa asyik.
• Terkadang kita harus merangkak, berlumur debu, dan tergores atau bahkan terluka untuk meraih legitimasi diri. Nggak apa-apa. Maju terus.
Bukan berarti menafikan orang lain ya. Saya bisa seperti saya sekarang ini karena dukungan dari pembaca sekalian. Kalau bukan karena saya ingin menginspirasi pembaca saya, nggak repot-repot saya bertualang dan upload foto di Instagram. Kalian memberikan saya alasan untuk jadi lebih baik, dan saya amat bersyukur.
Tapi nggak banyak foto saya yang menangis dalam kepedihan. Nggak banyak cerita saya yang masih bertanya dengan pedih, "Kurang apa sih gue sampai dia pergi?". Nggak banyak curhat keparnoan saya yang menolak percaya lelaki lagi, atau punya pacar lagi. Dan semua ini harus saya jalani sendiri. Nggak ada yang bisa membantu saya menutup masa lalu saya.
Satu kaki menapak, lalu kaki lain. Tangan yang penuh debu dan duri tajam dari semak kering. Legging yang berlumuran debu coklat terang. Berusaha fokus pada pencapaian dan bukan apa yang terjadi bila saya gagal. Sedikit lagi, batin saya saat itu. Saya bisa. Saya pasti bisa. Saya harus bisa.
Di ayunan yang berayun perlahan di puncak bukit saya melihat kesempatan. Jalan tol yang terhampar panjang, gedung-gedung tinggi yang menatap angkuh. Kemana lagi langkah saya akan membawa saya? Yang saya tahu saya siap menjalaninya. Hidup saya masih panjang, dan begitu indah. Tuhan itu baik sekali lho.
Tambahan: Hampir 1.5 tahun saya dan pasangan berpisah, namun perjalanan 'move on' saya masih panjang. It's ok. Nggak apa-apa. Ini wajar. Bila anda masih atau baru memulai perjalanan ini, atau ingin menguatkan dan mengembangkan diri, cari buku saya "Dear Mantan Tersayang" di toko buku. Perjalanan ini penuh tantangan dan perlu waktu, namun walau anda harus mrnjalaninya sendiri, akan lebih ringan saat tahu anda tidak sendiri.
Terimakasih para pembaca sekalian. Semoga tahun 2018 anda menemukan kebahagiaan dan kekuatan anda. Salam penuh cinta dari Los Angeles.